Mengapa Saya Begitu Mencintai Jepang

Enlik Lee
19 min readJul 1, 2024

--

Akhirnya, saya berkesempatan untuk mengunjungi Jepang lagi untuk ketiga kalinya, pada tanggal 27 April — 12 Mei 2024 yang lalu. Kesempatan pertama adalah ketika perusahaan game tempat saya bekerja di Jakarta dulu, Touchten Games, mensponsori saya dan beberapa rekan kerja lainnya, sebagai bagian dari business trip untuk acara Tokyo Game Show 2015. Saya sempat menulis ceritanya dalam 5 bagian di blog pribadi lama, bisa dibaca di sini. Kesempatan kedua adalah ketika saya ingin mengurus visa studi untuk kuliah S2 di Estonia sambil jalan-jalan pribadi.

Negeri sakura ini begitu banyak memberikan pengaruh dan kesan positif dalam hidup saya, khususnya mengingat saya (dan banyak anak-anak Indonesia lainnya) tumbuh bersama budaya pop culture dari Jepang. Negeri para samurai ini juga menjadi negara pertama yang saya kunjungi setelah memiliki paspor. Jadi teringat sebuah pepatah yang mengatakan bahwa cinta pertama memang paling berkesan yah :D

Foto bersama di Fujiko Fujio Museum bersama Touchten Games pada tahun 2015 (sumber)

Pemilihan Tanggal Liburan

Tanggal yang saya pilih bertepatan dengan Golden Week di Jepang, salah satu hari libur nasional terlama di Jepang, yang juga jadi salah satu alasan bagi saya untuk melihat Jepang di masa-masa liburan seperti ini. Di awal bulan Mei juga, ada beberapa hari penting dalam hidup saya, salah satunya adalah tanggal 3 Mei 2023, di mana di hari itu menjadi hari berpulangnya Papa saya. “Saya akan menggunakan momen ke Jepang kali ini untuk berdoa dan berziarah secara pribadi untuk mendiang Papa”, pikir saya ketika mempersiapkan tanggal liburan ke Jepang saat itu.

Selain itu, bulan Mei juga menjadi bulan spesial bagi saya pribadi. Tanggal 5 Mei adalah hari ulang Monkey D. Luffy, karakter fiksi favorit saya. Sementara tanggal 9 Mei adalah hari ulang tahun saya, yang ternyata juga dirayakan sebagai Goku Day, cara orang Jepang membaca 9 Mei (go = 5, k(y)u = 9). Sebuah cocoklogi yang mungkin gak penting buatmu yah :D

Golden Week Japan via nippon.com

Berburu Tiket Pesawat Murah dari Eropa

Mungkin karena sudah lewat musim Cherry Blossom di Jepang, harga tiket pesawat menjadi relatif lebih murah. Saya menemukan banyak sekali tiket murah dari maskapai Air China dan China Southern Airlines dengan penerbangan dari London, Milan, atau Roma, menuju Osaka atau Tokyo, dengan harga sekitar 500–600 EUR untuk tiket pulang pergi (PP). Efek membaca review negatif para netizen soal maskapai milik Tiongkok ini, dan juga merasakan official website dan app-nya yang tidak ramah untuk pengguna, saya jadi berpikir beberapa kali sebelum tergoda dengan tiket murahnya.

Pada akhirnya, saya memilih maskapai Etihad Airlines, dengan penerbangan dari Milan menuju Osaka (transit di Abu Dhabi), dengan harga tiket PP promosi sekitar 770 EUR. “Lebih mahal sedikit, gpp lah”, pikir saya saat itu mengingat reputasi baik yang dimiliki oleh salah satu maskapai Timur Tengah ini. Dan hasilnya, saya tidak menyesal sama sekali membayar sedikit lebih mahal. Mulai dari kualitas makanan/minuman, fasilitas, hingga kru pesawat, semuanya terasa begitu mewah. Bandara transit Abu Dhabi juga memiliki shower room yang bisa digunakan secara gratis, menjadi salah satu pengalaman terbaik saya untuk transit beberapa jam di dalam bandara.

Salah satu tiket termurah saat itu dari Eropa ke Jepang dengan maskapi premium seperti Etihad Airlines

Dua Hari Perjumpaan dengan Teman-Teman Di Osaka

Tiba di Kansai International Airport tanggal 28 April 2024, hari Minggu, sekitar jam 12 siang. Bersyukur saya bisa tidur pulas di dalam pesawat, (terima kasih Etihad Airways), sehingga saya minim jetlag setibanya di Osaka. Selesai check-in hostel, saya langsung bersiap untuk bertemu teman lama di Osaka, mas Dino. Kami sempat bertemu di tahun 2019 yang lalu, dan pertemuan kali ini juga kami makan ramen bersama. Mantan rekan kerja saya di Touchten Games ini, senang sekali mencari restoran ramen yang tidak mainstream.

Tiba di KIX airport, langsung merasa salah kostum, panas euy
Vending Machine dan makanan siap saji di supermarket, yang selalu membuat kangen untuk kembali ke Jepang

Selesai makan sore bareng mas Dino, saya langsung menuju ke daerah utara Osaka, untuk bertemu dua teman baru asal Jepang, Yuki Matsu dan Yuki Nakai. Kami bertemu lewat Couchsurfing di Tallinn, Estonia pada bulan Oktober 2023 yang lalu, dan sekarang menjadi salah satu teman baik mancanegara saya. Saya juga sempat ngobrol bersama duo Yuki ini di episode podcast pribadi saya dengan judul “Journeying Across the Globe as Japanese Nomad”, beberapa minggu sebelum mereka kembali ke Jepang (setelah menyelesaikan perjalanan keliling dunia selama satu tahun).

Reuni dengan mas Dino, rekan kerja saya dulu di Touchten Games

Duo Yuki mentraktir saya makan malam di restoran Yakitori (sate khas Jepang), sebuah momen bagi saya untuk belajar art of receiving dari kebaikan orang lain. Siapa sangka pertemuan singkat di Estonia ini bisa membawa pertemanan yang sedekat ini. “Mungkin sudah saatnya saya mencari pasangan hidup dari negeri sakura”, pikir saya setengah bercanda saat itu. :”)

Catch-up dengan Yuki Matsu dan Yuki Nakai, dua teman baru saya dari Couchsurfing di Estonia

Selesai makan malam dan temu kangen dengan duo Yuki, saya langsung berangkat menuju Izakaya (kedai ala Jepang) milik Motoshi, salah satu teman baik saya selama working holiday di Sydney, Australia, sekitar bulan Nopember 2016-Mei 2017 yang lalu, di Sydney, Australia. Karena kesibukannya, saya memilih untuk menyempatkan waktu berkunjung langsung ke tempat kerjanya ini, sebelum tutup sekitar jam 11 malam. Saya tiba sekitar jam 10 malam dan hanya punya waktu sekitar 1 jam untuk ngobrol santai sambil melihat dirinya melayani beberapa pengunjung Izakaya (dalam bahasa Jepang yang saya tidak mengerti :D). Bahasa Inggrisnya terasa mulai kurang fasih, sepertinya efek karena sudah lama meninggalkan Australia. Sejak pertemuan terakhir di tahun 2019 yang lalu, Motoshi kali ini sudah menikah dan dikaruniai satu orang anak laki-laki. “Waktu berputar secepat itu ya”, lamunan saya malam itu yang masih menikmati masa-masa bujang saat ini.

Reuni dengan Motoshi, teman masa Working Holiday di Sydney, Australia

Keesokan harinya, saya memulai pagi hari dengan bertemu Kenji dan makan siang bersama di restoran sekitar Tennoji. Kenji juga adalah salah satu rekan lama saya saat menjalankan working holiday di Darwin, Australia sekitar bulan Juni-September 2017 yang lalu. Serupa dengan Motoshi, bahasa Inggrisnya sudah semakin kurang fasih, sehingga beberapa kali saya harus menggunakan Google Translate untuk berkomunikasi. Kami ngobrol santai sambil makan siang, dan menikmati suasana hari pertama liburan Golden Week di Jepang. Sejak punya satu anak laki-laki, Kenji merindukan waktu luangnya untuk berkeliling dunia lagi. Sebuah pengingat bagi saya bahwa kehidupan berkeluarga juga dipenuhi oleh pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran.

Reuni dengan Kenji, teman semasa Working Holiday di Darwin, Australia dulu

Menuju Dotonburi, daerah turis Osaka, saya bertemu dengan Nadya, teman sekolah saya dari Santa Maria Monica Bekasi Timur. Cuaca yang mendadak berubah dari panas ke hujan, membuat kami memilih untuk ngobrol di dalam shopping centre. Sebagai sesama yang tumbuh bersama budaya pop Jepang, obrolan kami tidak jauh-jauh dari topik ini, khususnya soal manga One Piece. Cerita Nadya yang kini sedang berjuang untuk beradaptasi dengan kehidupan studi dan bekerja di Jepang, sungguh-sungguh mengingatkan saya akan pengalaman saya di Australia dulu. Menjadi pengingat bahwa roda kehidupan selalu berputar, dan membuat saya menjadi lebih bersyukur, karena sudah mengalami masa-masa sulit sebagai pekerja blue-collar (kerja kasar) di Australia dulu, yang secara tidak langsung mengantarkan saya untuk kembali mensyukuri pekerjaan sebagai pekerja white-collar (kantoran) di Estonia saat ini.

Reuni dengan Nadya di Osaka

Kumano Kodo

Saya merasa terkalibrasi dengan energi positif setelah pertemuan dengan teman-teman dan makan makanan Jepang di Osaka. Merasa siap untuk mencoba hal baru di Jepang, saya naik kereta JR (Japan Railways) dari Osaka ke Kii-Tanabe (prefektur Wakayama), untuk mengalami Kumano Kodo, sebuah ziarah jalan kaki dari tradisi agama Shinto dan Buddha di Jepang. Terima kasih kepada Facebook group ini, sejak ziarah Camino de Santiago pertama saya, saya menemukan ziarah serupa di Jepang. Sebuah tulisan singkat akan pengalaman ziarah jalan kaki Kumano Kodo saya ini bisa dibaca di sini. Itinerary Kumano Kodo pertama saya bisa dilihat di sini.

Ikut Misa Harian di Gereja Katolik di Tanabe, Wakayama (titik pertama Kumano Kodo Nakahechi Route)
Teman-teman baru dari Kumano
Beberapa highlight dari Kumano Kodo
Sertifikasi Dual Pilgrim https://dual-pilgrim.spiritual-pilgrimages.com/enlik-enlik/ (dipublikasikan tepat di hari ulang tahun ke-33 saya :D)

Eksplorasi Distrik Gion di Kyoto

Selesai menjalani ziarah Kumano Kodo, saya melanjutkan perjalanan ke Kyoto, dari stasiun Kii-Katsuura Station menuju stasiun Kyoto. Perjalanan selama kurang lebih 7 jam ini (karena banyak transit), menjadi salah satu pengalaman terbaik saya naik kereta di Jepang. Pemandangan yang memukau ditambah kenyamanan baik di dalam kereta maupun di area stasiun, ditambah kualitas pelayanan para staff di stasiun, membuat saya punya alasan tambahan untuk mencintai negeri sakura ini.

Setibanya di Kyoto, selesai check-in di guesthouse, saya langsung menggunakan waktu singkat di Kyoto untuk mengenal sejarah distrik Gion, salah satu objek wisata yang terkenal dengan kota tua Jepang, Geisha, kuil, dan Kabuki. Saya terbantu dengan aplikasi VoiceMap yang punya self-guided tour untuk beberapa tempat di Kyoto, termasuk distrik Gion ini. Keesokan harinya, saya menyempatkan ikut misa hari Minggu di Gereja Katolik Kujo dan terkesima dengan keramah-tamahan para pelayan dan petugas di sini.

Patung Izumo no Okuni, pendiri seni Kabuki di Kyoto

Couchsurfing di Nagoya

Couchsurfing.com adalah sebuah platform untuk mempertemukan traveler dengan local host dan juga traveler lain. Aplikasi ini sungguh membantu sebagai solo traveler untuk bertemu teman-teman baru di kota-kota yang saya kunjungi. Tiba di Nagoya, saya dipertemukan dengan dua teman baru dari Couchsurfing di Nagoya, Asahi dan Akihiro. Bersama Asahi, saya diperkenalkan dengan tradisi minum teh ala Jepang di salah satu kedai teh di Nagoya.

Mencoba tradisi minum teh ala Jepang bersama Asahi

Sedangkan Akihiro, menjadi local host Couchsurfing saya di Nagoya, yang punya hobi menonton turnamen Formula One dan Boxing. Berbeda dengan pengalaman saya selama menggunakan Couchsurfing di Eropa, di Jepang relatif lebih sulit untuk mendapatkan host, namun relatif lebih mudah untuk sekedar mengajak ngobrol di kafe atau jalan-jalan bareng.

Bersama Akihiro, local host Couchsurfing pertama saya di Jepang

Berkunjung ke Ghibli Park di Nagoya

Studio Ghibli dan Jepang adalah dua entitas yang saling melengkapi. Melalui film-filmnya, Studio milik Hayao Miyazaki ini tidak hanya memberikan sebuah hiburan tetapi juga memperkenalkan kepada penonton betapa dalam dan indahnya budaya Jepang. Meskipun baru menonton beberapa film karya Ghibli, saya sudah terkesima dengan setiap karyanya. Beberapa film yang saya sudah tonton seperti Grave of the Fireflies, My Neighbor Totoro, Spirited Away tidak hanya menampilkan animasi yang memukau, tetapi juga menyampaikan pesan-pesan penting tentang nilai-nilai kemanusiaan, persahabatan, dan keberanian.

Ruangan arsip di Ghibli Park Grand Warehouse yang bisa membuat saya betah berlama-lama di sini

Mengunjungi Ghibli Park di Nagoya kembali memberikan pengalaman yang penuh dengan keajaiban dan nostalgia, khususnya ketika melihat lebih dekat semua karya-karya yang pernah mengisi memori masa kecil dan remaja. Taman ini tidak hanya menawarkan hiburan, tetapi juga memberikan kesempatan untuk lebih memahami dan menghargai karya-karya Studio Ghibli. Kunjungan ke taman ini seperti impian yang menjadi kenyataan. Kalau ingin menikmati pengalaman secara penuh beli tiket premium-nya yang memberikan kamu akses spesial ke beberapa wahana yang tidak bisa diakses oleh tiket biasa. Perlu dicatat juga, untuk mendapatkan tiket masuk Ghibli Park, kamu harus booking sekitar dua bulan sebelumnya lewat official website nya.

Beberapa highlight dari Ghibli Park
Beberapa replika dari adegan dalam film-film Ghibli
Kreatif yah

Ziarah Pribadi ke Bird Studio milik Akira Toriyama (Dragon Ball)

Tanggal 01 Maret 2024 menjadi hari berduka bagi para penggemar karya salah satu mangaka populer asal Jepang, Akira Toriyama. Saat mengetahui bahwa daerah Kiyosu di dekat kota Nagoya adalah kampung halaman sekaligus tempat berdirinya Bird Studio milik beliau, rasanya tidak afdol kalau saya tidak menyempatkan ziarah ke sini. Bird Studio didirikan oleh Akira Toriyama setelah kesuksesan serial Dr. Slump. Nama studio ini diambil dari kata tori (“burung” dalam bahasa Jepang), yang merupakan permainan kata dari nama Toriyama. Dragon Ball adalah komik shonen pertama yang mengisi masa kecil saya, dan begitu banyak inspirasi dan imajinasi yang timbul di benak saya lewat cerita petualangan Son Goku dan teman-temannya ini.

Sebelum melakukan ziarah, penting untuk mengetahui bahwa Bird Studio bukanlah tempat wisata umum yang terbuka untuk publik. Titik lokasi nya di Google Maps pun sudah dihapus, semenjak banyak orang (termasuk saya) menulis pesan belasungkawa atas kepergiannya lewat review di Google Maps. Satu lagi pelajaran bagi saya tentang orang Jepang yang umumnya menghindari eksposur dan publisitas yang berlebihan. Meskipun tidak bisa masuk ke dalam Bird Studio, berjalan-jalan di sekitar area dan mengetahui bahwa di sinilah tempat di mana Dragon Ball diciptakan memberikan perasaan yang luar biasa. Saya bisa merasakan semangat kreatif Toriyama dalam menciptakan karya-karya populer lainnya seperti Dr. Slump, Dragon Quest, dan Chrono Trigger.

Bird Studio, foto diambil pada tanggal 6 Mei 2024 pukul 19:35

Hasil bertanya ke teman-teman orang lokal Nagoya dari Couchsurfing, Asahi dan Akihiro, saya menemukan dua tempat yang juga memberikan legacy dari Toriyama-sensei seperti:

Sumber: Google Maps (Nobunaga Ramen)
sumber: Google Maps (Aiueo Restaurant)

Pengalaman Naik Bus Willer Express dari Nagoya ke Tokyo

Saya akhirnya mencoba pertama kalinya naik bus jarak jauh Willer Express dari Nagoya ke Tokyo. Menjadi pilihan yang tepat bagi kamu yang mencari alternatif transportasi yang nyaman dan terjangkau. Beberapa hal yang saya suka dari perjalanan dengan bus ini adalah kenyamanan kursi serta titik perhentian bus di rest area yang begitu indah dan membuat para penumpang bisa mampir ke toilet maupun beli makanan yang super enak. Supir bus juga begitu profesional dengan memberikan pengumuman soal berapa lama bus akan berhenti, dan menempelkan kertas informasi soal jam berapa kami harus kembali ke dalam bus. Meskipun tidak mengerti bahasa Jepang, informasi visual yang diberikan sangat membantu untuk mencerna informasi. Tentu lebih efektif kalau tanya ke sesama penumpang lain, seperti yang saya alami saat mencari informasi soal bus stop untuk boarding masuk ke dalam bus. Sepertinya karena Willer Express ini bus milik swasta, maka titik perhentian bus nya agak sedikit menjauh dari terminal bus utama Nagoya. Jadi, jangan terlena dengan informasi visual di Jepang, karena terkadang bertanya langsung kepada orang lain lebih efektif :D

Bus Willer Express dengan penutup kepala untuk privasi saat sedang tidur

Bertemu dengan Teman-Teman Baru di Tokyo

Tiba di Shinjuku Bus Station, Tokyo sekitar jam 3 sore, saya langsung membeli secara online 3-days Pass Tokyo Subway Ticket dari Klook. Dengan tiket sakti yang hanya bisa dibeli oleh turis secara online ini, saya bisa menghemat cukup banyak biaya untuk transportasi selama di Tokyo. Proses redeem tiketnya agak sedikit tricky, karena kamu harus mencari mesin khusus untuk mencetak tiketnya lewat QR code yang didapat dari aplikasi Klook.

Selesai check-in di guesthouse daerah Asakusa, saya langsung menuju daerah Ueno untuk bertemu dengan Mao, teman baru saya dari Couchsurfing Tokyo, yang sedang belajar karya teatrikal di Waseda University. Berkat dirinya, saya jadi bisa menemukan restoran sukiyaki dan shabu-shabu (hot pot ala Jepang), On-Yasai. Kami makan bersama sekaligus berkenalan satu sama lain, sambil berbagi pengalaman Couchsurfing dan juga rencana Mao untuk belajar seni teatrikal di Jerman sambil terus meningkatkan kemampuan bahasa Jermannya. Selesai makan, kami menyempatkan bermain “Taiko no Tatsujin” di salah satu arcade sekitar Ueno, lalu jalan-jalan malam di sekitar Ueno Park.

Eksplorasi daerah Ueno bersama Mao (teman Couchsurfing)

Keesokan harinya, saya makan sore bersama Yoseph, di restoran Ebi Tsukemen terkenal di daerah Shinjuku, Tsukemen Gonokami Seisakusho. Teman baru saya dari Indonesia ini, bekerja di sebuah perusahaan fintech di Jepang selama kurang lebih 5 tahun terakhir. Saya mengenal Yoseph lewat platform AI Professional Matchmaking bernama Lunchclub. Antusiasme nya di bidang teknologi blockchain membuka wawasan saya bahwa blockchain tuh gak melulu soal crypto dan NFT. Banyak peluang lain yang bisa terbuka lewat teknologi ini, seperti yang sudah saya pernah tulis sebelumnya di sini.

Makan sore bersama Yoseph di restoran Tsukemen Gonokami Seisakusho dan eksplorasi area Shinjuku

Malam harinya, saya bertemu dengan teman Couchsurfing, Kayoko, seorang professional di bidang startup di Tokyo. Dirinya yang pernah berkunjung ke Estonia di tahun 2019 yang lalu, membuat topik pembuka obrolan kami di seputar negara dengan yang terkenal dengan teknologi digital ini. Permainan kartu “Yuk Ngobrol” dari Lemari Senja juga membuat topik obrolan kami semakin lebih dalam, tidak hanya seputar dunia startup, tetapi juga pengalaman pribadi sebagai orang dewasa yang terus belajar soal kehidupan. 😁

Ngobrol bareng Kayoko di Shibuya Scramble Square

Untuk pertama kalinya, saya diajak untuk sarapan pagi di rumah orang yang baru saya kenal di Tokyo. Namanya Yoshiko-san, kami berkenalan lewat Couchsurfing juga. Karena kesibukannya sebagai remote worker dengan jam kerja US, dirinya mengajak untuk ketemuan di rumahnya saja, sambil disiapkan sarapan ala Jepang. Pertemuan singkat tak terduga ini membuat saya serasa mengalami live-in dengan tradisi sarapan khas Jepang. Sejak kehilangan mama tercinta 1.5 tahun yang lalu, saya merindukan sosok perempuan seperti Yoshiko-san. Pertemuan dengannya memberikan sebuah harapan, bahwa keluarga baru bisa ditemukan di mana saja.

Sarapan ala Jepang di apartemen Yoshiko

Selesai sarapan pagi dan ngobrol beberapa jam di rumah Yoshiko-san, saya diantar menuju bus stop untuk berangkat ke Kawagoe, tempat tujuan saya selanjutnya. Saya akan menemui teman lama saya, Nanako, yang pernah study exchange di Tartu, Estonia pada tahun 2019–2020 yang lalu. Pertemuan kembali setelah empat tahun ini, sungguh-sungguh membangkitkan nuansa nostalgia kami sebagai sahabat dekat selama di Estonia. Kami berkeliling kota kecil di utara Tokyo ini sambil berbagi update cerita selama empat tahun terakhir ini, mulai dari obrolan tentang karir hingga asmara 😁.

Reunian bersama Nanako di Kawagoe
Sketchnote dari Nanako di hari ulang tahun saya pada tanggal 9 Mei 2024

Satu lagi teman orang Jepang yang saya temui lewat Couchsurfing di Estonia, Hiro. Karena kesibukannya setelah libur Golden Week, akhirnya kami hanya punya waktu singkat untuk bertemu saat istirahat jam makan siang, di dekat tempat kerja di daerah Shinjuku. Hiro kini menjadi konsultan agen edukasi untuk para pelajar Jepang yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri.

Catch-up dengan Hiro

Alex adalah partner kerja dari Touchten Games, perusahaan game di Jakarta tempat saya bekerja dulu. Beruntung di tengah-tengah kesibukannya, dirinya bisa menyempatkan waktu bertemu dengan saya di Ebisu, dekat daerah tempat tinggalnya. Sebagai sesama pecinta video game, tidak sulit mencari topik untuk mengobrol dengan Alex. Sebagai salah satu senior di industri game, saya kembali belajar banyak hal darinya, dan membangkitkan semangat saya untuk kembali mendalami industri yang pernah menjadi bagian dari karir saya ini.

Ngobrol soal industri game bersama Alex

Mika adalah satu teman seperjuangan selama studi di University of Tartu, Estonia pada tahun 2019–2021 yang lalu. Semenjak lulus, dirinya memutuskan untuk kembali ke Jepang dan meniti karir di sana. Tahun 2024 ini, kami janjian untuk ketemuan di Tokyo, tepat saat dirinya baru pulang dari perjalanan ke Indonesia. Kami memutuskan untuk berkunjung bersama ke Ghibli Museum, sambil jalan-jalan di area hijau di sekitarnya. Lewat “jalur orang Jepang” alias bantuan dari Mika, kami bisa mendapatkan tiket Ghibli Museum yang terkenal sulit didapatkan. Untuk mendapatkan tiketnya, kamu wajib bisa beli tiket online nya dari satu bulan sebelumnya di sini. Cuaca cerah ☀️ yang menyertai kami seharian ditambah restoran-restoran lokal khas Jepang pilihan Mika sungguh-sungguh jadi mood booster bagi saya di hari itu 😁

Keliling Ghibli Museum bareng Mika

Berpisah dengan Mika di stasiun Tokyo, sebelum saya naik Shinkansen menuju Osaka, untuk persiapan pulang ke Eropa dari bandara Internasional Osaka (KIX). Perjalanan ke Jepang ini semakin penuh dengan pertemuan, khususnya ketika saya kembali dipertemukan dengan teman lama saya di Jakarta dulu, Felicia. Obrolan singkat kami di sebuah cafe di sekitar daerah Dotonburi, membuat kami bisa sedikit catch-up dan berkenalan juga dengan teman Feli yang jadi expat di Nagoya (saya lupa namanya, haha 😆)

Bertemu dengan Feli dan temannya di Dotonburi, Osaka

Refleksi Penutup

Jepang selalu punya tempat spesial tersendiri buat saya. Liburan selama dua minggu ini, perlahan mengubah gaya traveling saya, yang biasanya hanya dipenuhi dengan itinerary ke tempat-tempat wisata populer. Kini saya lebih memprioritaskan pertemuan baik dengan teman-teman lama maupun yang baru.

Pandemi COVID-19 yang membatasi kita untuk berinteraksi secara fisik, telah menyadarkan saya bahwa teknologi tidak akan pernah bisa menggantikan sepenuhnya interaksi langsung dari manusia ke manusia, dari mata turun ke hati hingga ke telapak kaki. Perjalanan spiritual seperti Kumano Kodo juga membantu saya untuk berziarah dan berdoa bagi mendiang kedua orang tua, yang saya yakin dan percaya bahwa mereka berdua kini menjadi malaikat pelindung khususnya bagi saya dan kedua adik saya yang masih mengembara hidup di dunia ini.

Tentu sebagai manusia awam, kebutuhan akan hiburan seperti Ghibli Park, Ghibli Museum, dan Akihabara juga tetap menemani perjalanan saya di Jepang. Bedanya, kini saya lebih mindful dalam membeli souvenir, mengingat perjalanan digital nomad saya sepulang dari Jepang yang masih berlanjut hingga 1.5 bulan lagi. Backpack saya tidak boleh sampai overload :D.

Tulisan pengalaman di Jepang ini, akhirnya berhasil saya selesaikan tepat di hari-hari terakhir menjelang kepulangan saya ke Estonia, setelah menjalani tiga bulan hidup sebagai digital nomad. Tidak ada pesan sponsor dalam tulisan ini, murni hanya luapan perasaan dan rasa syukur saya karena masih diberi kesempatan seperti ini. Kadang rasanya kepanjangan, tapi ya itulah tulisan apa adanya, tanpa terlalu banyak editing, dan menjadi jurnal pribadi yang saya publikasikan untuk kamu, para pembaca.

Terima kasih untuk teman-teman yang saya temui di Jepang, yang sudah bagian dari perjalanan hidup ini.

Terima kasih untuk mendiang Akira Toriyama yang sudah mengubah hidup saya.

Terima kasih untuk Studio Ghibli yang membuat saya belajar banyak hal dari kebudayaan Jepang.

Terima kasih untuk mendiang mama dan papa yang sudah melindungi saya sepanjang perjalanan ini.

Dan terima kasih untuk kamu, para pembaca, yang sudah membaca tulisan yang cukup panjang ini, kalian luar biasa :”)

Sekian dan sampai ketemu di tulisan perjalanan saya selanjutnya :)

ありがとう, 日本!

Foto bersama Kaonashi (No Face) di Osaka Shinsaibashi Parco

--

--

Enlik Lee
Enlik Lee

Written by Enlik Lee

Lifelong learner, explorer, podcaster. I write in English and Indonesian. Homepage: enlik.tech