Cerita Saya di Darwin, Australia

Enlik Lee
19 min readJan 24, 2019

--

Di tulisan kali ini, saya ingin bercerita pengalaman saya selama 4 bulan tinggal di kawasan pedalaman Australia, Northern Territory, dengan ibu kotanya Darwin. Nama-nama seperti Tennant Creek, Alice Spring, Katherine, Renner Spring, mungkin terasa asing bagi ‘kids jaman now’ bahkan yang sudah lama tinggal di Australia sekali pun. Kok bisa? Karena memang kawasan ini lebih sering dituju oleh para backpacker dibanding para wisatawan yang hendak berkunjung ke Australia. Cerita saya kali ini berfokus pada kota Darwin dan sedikit di daerah Tennant Creek.

Alasan Pindah Ke Darwin

Alasan utama para backpacker dan pemegang Work and Holiday Visa (selanjutnya disebut WHV) seperti saya tentunya adalah untuk memenuhi persyaratan tahun kedua WHV, dimana untuk kami pemegang WHV Subclass 462, harus bekerja selama minimum 88 hari (atau 3 bulan) di semua area Northern Territory dan sebagian wilayah Queensland, dengan kategori pekerjaan yang sudah ditentukan oleh pemerintah Australia. Darwin adalah salah satu kota yang memenuhi persyaratan tersebut. Lengkap deh infonya di sini.

Memang tidak bisa dipungkiri, angkatan kami, para pemegang WHV yang berangkat sekitar akhir tahun 2016 kemarin adalah angkatan yang beruntung, mengingat baru diresmikannya proses perpanjangan 2nd year WHV. Dan mungkin terasa aneh, Darwin yang tahun-tahun sebelumnya bukanlah tujuan favorit para WHV dari Indonesia, kini menjadi salah satu kota dengan populasi terbanyak pemegang WHV dari Indonesia. Sebut saja beberapa employer besar di Darwin yang mayoritas pekerja-nya berasal dari Indonesia, seperti Compass Group ESS, Leprechaun Resort, dan mungkin yang lainnya.

Selain karena syarat tersebut, secara pribadi saya juga ingin merasakan pengalaman yang berbeda di Australia. Saya berharap dengan tinggal di Darwin maupun daerah outback Australia lainnya, saya dapat menemukan ‘harta terpendam‘ yang mungkin sulit ditemukan di kota-kota besar Australia.

Bermalam di Darwin Airport

Sebelum keberangkatan pesawat, saya sudah pesan ‘Uber‘ dari salah satu teman WHV Darwin untuk menjemput saya setibanya saya bandara pada saat tengah malam, tanggal 20 Juni 2017. Eh ternyata, dia ketiduran euy! Saya telepon dan sms tidak diangkat. Berhubung memang sudah tengah malam, transportasi menuju ke Darwin City sudah tidak tersedia. Saya pun memutuskan untuk bermalam di Darwin Airport, kualitas wifi internet di sini cukup berkualitas dan ruangan-nya juga ber-AC, petugas keamanan juga ada, aman! Saya bermalam hingga jam 6 pagi di sini menunggu jadwal keberangkatan pertama Shuttle Service (mobil Van) menuju Darwin City.

Menikmati Satu Hari di Darwin

Tiba di Darwin City, saya singgah ke rumah mas Yunas untuk tinggal sementara di sini hingga malam hari sebelum kembali menuju Airport kembali untuk transit ke Tennant Creek. Saya berkenalan dengan beberapa housemate di sini, dan juga room mate sehari saya, Nandra, yang saat itu masih terlihat kebosanan menunggu pekerjaan di Darwin yang tak kunjung datang. Beberapa teman-teman WHV lain di sini juga bercerita bagaimana sulitnya mencari pekerjaan di Darwin. Satu cerita, ada yang bekerja sebagai Kitchen Hand, seharusnya ia bekerja selama 6 jam, namun karena restoran sepi, ia dipulangkan meski baru bekerja selama 3 jam. Cerita lainnya, mereka yang melamar posisi Housekeeping di sini tanpa pengalaman sebelumnya akan kesulitan untuk diterima.

Beberapa teman dari Darwin
Makan malam bersama Arip Hidayat dkk di daerah Moil, Darwin.

Impresi pertama di Darwin, cuacanya terasa ‘super panas’ di siang hari. Efek dari berada di Sydney sehari sebelumnya yang sedang memasuki musim dingin. Impresi lainnya? Saya dapat menemui ‘kaum asli’ penduduk Australia hampir di sepanjang jalan. Mereka terlihat begitu ‘mencolok’ khususnya ketika mereka berteriak-teriak tanpa sebab yang jelas, lalu mendatangi kita dan meminta “2 dollars please“. Terkadang ada dari mereka yang asyik juga diajak untuk mengobrol loh, ketika menunggu bus atau berada di dalam bus. Bersyukur, selama empat bulan tinggal di Darwin ini, saya belum punya pengalaman buruk dengan mereka. Apapun pandangan negatif terhadap mereka, ‘kaum asli’ Australia ini tetaplah manusia yang sama seperti kita, yang selayaknya kita perlakukan sama, “who am i to judge?”. Tahu gak sih? Bumerang yang sering kita lihat di film-film itu merupakan salah satu penemuan mereka loh.

Dimulai dari Tennant Creek

Eh, judul tulisan ini kan tentang Darwin, kenapa ada Tennant Creek? Ya, petualangan saya di kawasan utara Australia ini, justru dimulai dari Tennant Creek. Kurang lebih dua minggu lamanya saya berada di sini, bekerja di sebuah camp daerah pertambangan.

Tiba di Tennant Creek Airport, bandara ini tergolong bandara kecil, yang kelihatan seperti rumah dengan landasan pesawat di sekililingnya. Menunggu selama kurang lebih 15 menit, kami langsung diantar dengan mini bus menuju camp site Bootu Creek.

Sesampainya di camp, kami diabsen satu per satu oleh camp manager yang bertugas saat itu. Setelah menerima kunci kamar, saya diantar langsung oleh si manager ke kamar, dan diinformasikan bahwa saya akan langsung bekerja pada sore hari nanti. Saya bertemu dengan rekan WHV Indonesia di sini, Yuko, mengantarkan titipan iPad Pro miliknya dari Sydney. Dan dengan penuh semangat, saya memulai hari pertama saya bekerja di Northern Territory.

Pesawat Charter AirNorth ukuran kecil yang saya tumpangi

Makan Siang Seadanya

Saat itu jam makan siang, saya baru sadar ternyata Chef tidak menyiapkan makanan siang hari, dikarenakan pada jam tersebut para miner masih bekerja di area pertambangan. Jadi untuk kami para pekerja Hospitality (Kitchen/Housekeeping/Cleaner), hanya bisa makan makanan dari kulkas, masak mie instan, atau ke dalam Cool Room untuk ambil makanan dari pagi hari atau malam hari sebelumnya. Kitchen ini hanya melayani sarapan pagi hari (buka jam 4 subuh s/d 8 pagi) dan makan malam (buka jam 4 sore s/d 8 malam).

Ruang Makan di Bootu Creek Mining Site

Perkenalan dengan Dua Rekan WHV dari Tiongkok

Saat makan siang, saya bertemu dengan dua pejuang WHV dari Tiongkok, namanya Alice dan Emma (mereka menggunakan nickname, *you know lah* nama Chinese sulit diingat orang bule). Perkenalan pertama pada saat jam makan siang waktu itu sungguh berkesan, karena saya si anak baru ini, bisa langsung akrab dengan mereka, kami saling menanyakan nama, basa-basi, dan bertukar cerita sedikit latar belakang kami masing-masing. Mereka juga bercerita bahwa di Tiongkok, hampir semua sosial media diblokir oleh pemerintah di sana, mereka baru membuat Facebook pun hanya ketika berada di Australia. Oh betapa ketatnya Tiongkok!

Beruntungnya di jaman now, meski hanya berteman dalam waktu yang singkat selama di sini, kami masih bisa bertegur sapa via sosial media untuk sekedar menanyakan kabar masing-masing dan berbagi cerita perjuangan WHV kami di tempat yang lain. Selalu menyenangkan ketika berbagi cerita, karena dengan waktu dan kesempatan kita yang terbatas untuk mencoba segala sesuatunya, kita masih bisa ikut merasakannya dengan membaca cerita orang lain, seperti yang saya coba bagikan lewat tulisan ini.

Makanan Enak dan Super Enak

Selama di sini, kategori makanan bagi saya hanyalah dua macam, ENAK dan SUPER ENAK (seperti kata Trinity di buku The Naked Traveler). Beruntung ada Chef Jason dan Chef Simon yang begitu luar biasa saat menyiapkan Asian Food, yang sangat cocok untuk lidah orang Indonesia seperti saya.

Salah satu menu yang tersedia

Untung Ada ChromeCast

Chromecast yang terlebih dahulu saya beli di JB Hi-Fi Sydney seharga $60, sungguh menjadi media hiburan saya yang sangat bermanfaat. Dengan TV HDMI yang disediakan di setiap kamar plus internet WiFi di area camp, saya bisa melakukan streaming layar smartphone saya langsung ke TV secara wireless. Menonton YouTube, Netflix, dan lain sebagainya di layar yang lebih besar tentu memberikan kepuasan yang berbeda.

The Mighty Chromecast

Dua Minggu Terisolasi

Selama dua minggu di tempat yang terisolasi ini, justru saya merasa begitu produktif, beberapa buku berhasil saya baca hingga halaman terakhir. Waktu luang lainnya saya gunakan untuk belajar online course di Udacity, tanpa lupa untuk menghibur diri dengan bermain video game atau menonton TV. Saya juga rutin untuk mempersiapkan ‘saat teduh’ setiap harinya, yang hampir tak pernah saya lewatkan tiap harinya. Saya menemukan bahwa berdoa dan baca kitab suci tuh ternyata bisa dilakukan kapan dan di mana saja, yang terpenting intensinya. Semua hal yang biasanya membuat saya sibuk selama tinggal di kota besar, bisa saya tinggalkan sementara selama berada di sini.

Namun di sisi lain, saya begitu merindukan kebebasan bereksplorasi seperti yang saya lakukan di Sydney dahulu, selesai bekerja dan saat hari libur bisa keliling gratis area sekitar Sydney, bertemu dengan teman-teman dan keluarga, dan tentunya kembali mengikuti perayaan Ekaristi di Gereja.

Lalu apa yang benar-benar membuat saya terisolasi selama di sini? Saya kesulitan bersosialisasi dengan beberapa rekan kerja di sini, entah karena perbedaan kepribadian dan cara hidup atau mungkin saya sendiri yang terlalu menutup diri. Memang menjalin relasi tidak bisa dipaksakan, saya berusaha untuk tidak mengenakan ‘topeng’ hanya demi bisa bergaul dengan mereka. Alhasil, dua minggu saya bekerja di sini, saya hanya bisa berteman dengan sedikit orang. Perasaan terisolasi membuat saya semakin peka bagaimana arti kebebasan yang sebenarnya.

In the middle of nowhere

You’re Fired

Pagi itu rasanya tidak biasa, saya menghabiskan waktu subuh hingga matahari terbit untuk mengambil beberapa foto suasana di camp pada pagi hari dengan kamera mirrorless Sony saya. Malam sebelumnya saya memimpikan tentang meninggalkan tempat ini menuju sebuah tempat lain yang benar-benar baru bagi saya. Dan benar saja, pada sore hari nya, sang Camp Manager, pak Robert, menghampiri saya dan meminta waktu untuk mengobrol secara empat mata. Dengan nada yang berat, beliau berkata bahwa saya tidak akan mendapatkan shift kerja lagi dan harus bergegas meninggalkan tempat ini esok harinya, alias mau bilang “You’re Fired!“.

Apa alasan utama saya dipecat? Saya tidak bisa mengemudikan mobil. Sedih? Pastinya, apalagi dipecat oleh karena kekurangan yang saya miliki. Sakitnya tuh di kepala, rasanya mau segera belajar kilat ‘setir mobil’ supaya saya bisa bertahan di sini. Bahagia? Yes, karena ini berarti saya akan segera meninggalkan zona isolasi saya, dan kembali berharap akan sebuah kebebasan di tempat baru nantinya. Inilah pengalaman pertama merasakan sesungguhnya bagaimana rasanya dipecat, sedih dan juga bahagia di saat yang sama.

Dipecat atau ditolak mengajarkan kepada saya bahwa ketika satu pintu tertutup, akan begitu banyak pintu lain yang terbuka. Belajar dari cerita Walt Disney yang tidak putus asa walau penolakan beliau rasakan beberapa kali, namun pada akhirnya mendirikan Disney dan menciptakan sebuah mahakarya dengan karakter tikus nya yang kita kenal hingga sekarang. Kisah sukses lainnya tentang penolakan juga bisa kamu temukan dari founder WhatsApp, Jadi toh saya berusaha untuk tidak berkecil hati, semua pasti ada jalannya, satu pintu tertutup, seribu pintu lain akan terbuka. Semoga!

Sampai Jumpa Bootu Creek Mining Camp

Bermalam di Renner Springs

Keesokan harinya, saya diberikan kesempatan bekerja terakhir kalinya sebagai Housekeeper. Bersama Yuko, rekan WHV Indonesia saya di sini, untuk pertama kalinya saya merasakan pengalaman housekeeping di Australia ini. Kami diberikan daftar kamar yang harus dikerjakan, lalu berkeliling area camp dengan membawa troli berisi perlengkapan housekeeping. Panas dan terik matahari menjadi hal yang biasa sebagai seorang Housekeeper di kawasan camp seperti ini.

Diantar oleh Rob (Camp Manager) menuju penginapan ‘super mahal’ di Renner Springs, untuk bermalam dan menunggu jadwal bus Greyhound besok subuh. Biaya $96 per malam dengan kualitas sekelas hostel atau hotel bintang dua, membuat saya berpikir, ini pasti harga monopoli sebuah penginapan karena memang tidak ada pesaingnya di dekat sini, in the middle of nowhere.

Tidak banyak yang bisa saya lakukan selama di sini, berjalan-jalan keluar hanya melihat hamparan padang rumput kosong dengan jalan terbesar dan terpanjang di Australia, Stuart Highway, membentang di antaranya.

Pengalaman Outback bermalam di Renner Springs Desert Inn

Satu Bulan Tinggal di Casuarina

Saya belum mendapatkan akomodasi di Darwin sampai saat bermalam di Renner Springs. Bermodal keyword “room Darwin” di grup facebook WHV Indonesia, saya akhirnya menemukan akomodasi di daerah Wulagi dekat Casuarina. Dengan harga $120 per minggu saya mendapatkan kamar privat dengan double bed yang cukup luas.

Satu yang hal membuat saya ‘keki’ selama di sini, yaitu sambutan gonggongan anjing di sepanjang jalan menuju rumah, menyebalkan rasanya para doggy ini ‘SKSD‘ sama saya. Namun lama-kelamaan entah kenapa saya jadi terbiasa dengan gonggongan mereka, dan para doggie itu pun menjadi bosan sendiri. Saya tinggal bersama kak Kristy dan suaminya Tony, kurang lebih selama satu bulan di sini.

Satu Bulan Bekerja di Darwin Turf Club

Beberapa hari tanpa pekerjaan di Darwin, sungguh membuat saya banyak pikiran. Saat itu saya juga masih menunggu jadwal interview dengan salah satu employer favorit di Darwin, Compass Group ESS. Namun berdasarkan info dari teman-teman, dari jadwal interview sampai saatnya mulai bekerja di sana, butuh waktu sekitar 2–4 minggu, alias lama banget. Pikir saya saat itu, daripada jobless terlalu lama di Darwin dan ‘digantung’ oleh ESS, saya harus mulai menyebar Resume baik secara online maupun offline (drop langsung).

Beberapa hari kemudian, saya diterima bekerja sebagai Kitchen Hand di Darwin Turf Club, setelah melewati proses walk in interview dengan cukup banyak kandidat, puji Tuhan! Saya bekerja dengan status casual rasa full time, alias dengan rate salary casual (lebih besar 25% dari gaji normal) namun mendapatkan hari kerja seperti fulltimer, lima sampai dengan enam hari satu minggu.

Serunya menjadi Kitchen Hand di sini, saya banyak melakukan food preparation seperti Sandwich, Hot Dog, Pork Roll, Fruit Salad, Burger, dan lain sebagainya. Bersama Oma Dawn, Antonnette, dan Anapolla, saya dibantu belajar banyak hal baru di dapur ini. Selain itu saya juga belajar menjadi all-rounder, mengantarkan pesanan dari dapur kepada para customer di bar. Pengalaman salah kasih order-an pun saya rasakan selama jadi all-rounder di sini. Hari paling melelahkan adalah ketika hari event selesai, tumpukan cucian piring dan cutlery rasanya siap menghantam kami. Satu bulan bekerja di sini terasa begitu menyenangkan, karena saya begitu menikmati pekerjaan ini.

Rekan-rekan kerja di Darwin Turf Club

Tidak Lolos Medical Checkup

Proses panjang aplikasi pekerjaan di Compass Group ESS ini dimulai dari email notifikasi bahwa saya menerima jadwal info session sekaligus interview. Sempat saya abaikan beberapa kali karena saat itu saya pikir akan benar-benar bekerja selama 3 bulan di Tennant Creek. Beruntung saya tidak langsung membalas emailnya sehingga saya masih terus dikirimkan email jadwal info session sampai akhirnya saya kembali ke Darwin lagi. Datang ke Manigurr-ma, saya dan para applicant lain mengisi form aplikasi pekerjaan yang begitu banyak, saya juga harus menyiapkan beberapa reference kerja, riwayat kerja, riwayat penyakit, dan sebagainya.

Selesai tahap interview, masuklah email notifikasi jadwal medical check up. Saat itu saya masih bekerja di Darwin Turf Club, selesai bekerja jam 5 sore, saya langsung menuju ke Darwin City, untuk memulai medcheck sekitar jam 6 sore. Kembali saya harus mengisi form, kembali mengisi riwayat penyakit, saya pun mengisi riwayat backpain saat bekerja sebagai Kitchen Hand di Google 6 bulan yang lalu, dan mungkin inilah yang menjadi salah satu poin penting dalam rekrutmen pekerja baru di Compass Group ESS, yang baru saya sadari beberapa waktu kemudian. Dan benar saja, beberapa hari kemudian setelah medcheck, saya menerima email bahwa saya tidak lolos seleksi penerimaan karyawan baru di Compass Group ESS ini. Karena kebijakan perusahaan, mereka tidak memberikan detail kenapa saya tidak lolos, jadi saya hanya bisa menduga saja.

Sedih ga? Ya pasti lah.. Beberapa hari ke depan, rasanya seperti ada pikiran yang menggantung, “kenapa ya gw gak lolos? kenapa ya begini? kenapa ya begitu?”. Manusiawi sekali yah. Akan tetapi, inilah bagian dari kerasnya hidup di Australia, bagaimana perjuangan para pemegang visa working holiday seperti saya berjuang mendapatkan pekerjaan demi bertahan hidup di sini. Banyak juga dari cerita WHV yang saya dengar, ada teman yang sampai berbulan-bulan belum mendapatkan pekerjaan, belum balik modal, sampai harus pinjam uang ke sana-sini. Ada juga yang merasakan dipecat setelah hanya bekerja selama 2 hari, di lain cerita ada yang sudah bekerja keras namun upah yang tidak dibayar oleh si boss sampai menggantung beberapa bulan (mau bayar rent pakai apa coba?). Kemudian, ada kasus lain lagi teman-teman yang terkena kasus penipuan mulai dari ratusan hingga puluhan ribu dolar Australia, bayangkan hasil kerja keras dan jerih payah di Australia harus lenyap begitu saja hingga pulang dengan tangan hampa. Oleh karena itu, kasus saya mah *apa atuh, kalau kata OZ people, “No Worries, Mate!”.

Dan ternyata Tuhan memang amat baik, rencananya selalu di luar batas pemikiran saya, pikir saya secara positif waktu itu. Di hari yang sama saat menerima email ‘tidak lolos’ tersebut, saya mendapatkan referensi pekerjaan juga langsung dari Darwin Turf Club, untuk bekerja di salah satu restoran besar di kawasan Darwin Waterfront. Saya pun langsung mencari akomodasi baru di Darwin City, dengan kondisi saat itu saya masih tinggal di Casuarina, jauh sekali dari Darwin Waterfront. Pertimbangan lainnya, saya akan mendapatkan kerja pada shift malam di tempat baru ini, sehingga repot juga kalau pulang tengah malam dan tidak punya kendaraan pribadi. Dan berawal dari sinilah, saya akhirnya akan merasakan sebuah pengalaman baru hidup di sharing apartment dan bertemu teman-teman yang luar biasa di Darwin.

Pengalaman Hidup di Sharing Room Apartment

Inilah salah satu pengalaman hidup yang ingin saya rasakan di Australia, tinggal bersama teman-teman seperjuangan WHV di sebuah sharing room apartment. Ini merupakan pengalaman baru bagi saya karena memang sebelumnya di Jakarta, Sydney, Tennant Creek, dan terakhir di Casuarina saya selalu mendapatkan kamar pribadi yang begitu nyaman dan tenang. Berlokasi di kawasan Darwin CBD, tempat saya tinggal kali ini dihuni oleh 4 orang cowok dan 6 orang cewek, semua orang Indonesia kecuali ada satu orang Jepang *nyasar ini, namanya Kenji-san. Butuh beberapa hari untuk berkenalan dengan mereka satu per satu dikarenakan jam kerja kami yang berbeda-beda.

Malam hari pertama pun tiba, saya sudah siap dengan suara ‘ngorok’ nan merdu dari teman sekamar saya. Percaya deh, tinggal di kamar sharing gak komplit rasanya kalau gak ketemu teman sekamar yang tidur pun masih ‘bersuara’. Dan semenjak tidur di kamar sharing ini, saya pun semakin sadar kalau saya juga punya kemampuan ‘bersuara’ saat tidur itu (baca: ‘mengigau’). Kemampuan macam apa ini!

Teman-teman di sharing apartment Cardona, Darwin

Trip ke Litchfield National Park

Jalan-jalan? Horee… Begitu rindunya saya untuk sekedar melakukan 1-day trip lagi, karena semenjak tiba di Darwin saya terlalu gila kerja dan hampir tidak punya waktu untuk nge-trip. Berawal dari pesan singkat iseng di grup whatsapp housemate, saya mengirimkan rencana jalan-jalan ke Litchfield Karena respon baik dari satu-dua orang yang mendukung, dikumpulkan lah daftar nama-nama yang berminat ikut. Jujur saja, melihat respon positif seperti itu membuat saya yang tadinya iseng saja jadi lebih bersemangat, dan segera mempersiapkan trip ini. Kami pun menggunakan jasa Bargain Car Rental Darwin untuk sewa mobil selama satu hari. Sabtu, 26 Agustus 2017, lima orang housemate siap melakukan trip jauh bersama untuk pertama kalinya.

Kira-kira dua jam perjalanan dari Darwin melewati sebuah wilayah ‘antah-berantah’, kami pun tiba di Litchfield. Pemandangan alam nan indah, jauh dari keramaian Darwin CBD (*eh ramai!?), dan air terjun dengan kolam renang yang dibuka untuk publik, cukup untuk melepas kepenatan bekerja dan rutinitas hidup di kota. Kami berenang di Wangi Falls, makan siang bersama dengan bekal yang sudah kami siapkan di malam sebelumnya, lalu melanjutkan perjalanan ke Florence Falls dan Buley Rockhole. Memang tidak banyak yang bisa kami lakukan selama di Litchfield, namun bonding kami sebagai housemate rasanya semakin kuat lewat 1-day trip ini. Hal ini yang selalu membuat saya rindu untuk traveling bareng, karena kata pepatah bijak yang bunyinya kira-kira begini “Sekali Traveling Bersama, Jadi Sahabat Selamanya!”

Yeay.. jalan-jalan bareng pertama!

Kejutan Ulang Tahun saat Tengah Malam

Hari ulang tahun selalu menjadi momen tahunan untuk mengapresiasikan perasaan ‘kasih’ kita kepada dia yang sedang berulang tahun, bisa lewat ucapan, kado, dan tentunya yang paling penting, doa dan harapan supaya menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Tanggal 9 September 2017, menjadi hari ulang tahun housemate kami, Kenji-san dari Jepang, yang mungkin merasa terasingkan di tengah kumpulan orang-orang Indonesia ini. Dengan intensi untuk mengurangi rasa ‘keasingan’ tersebut, saya bersama teman-teman merencanakan kejutan ulang tahun untuk Kenji-san.

Jujur saja, hal yang paling sulit dari perencanaan ini adalah memilih waktu yang tepat dikarenakan jam kerja kami berbeda-beda, ada yang pagi, siang, sore, malam bahkan hingga subuh. Dari rencana semula, kejutan dilakukan pada siang hari, dengan pertimbangan banyak yang sedang di rumah saat itu, lalu ide saat subuh ketika kami semua mayoritas masih di rumah (baca: tidur). Namun pada akhirnya kami memilih ide brilian ini, “gimana kalau tengah malam aja tepat jam 12 malam?”. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, kami pun mempersiapkan kejutan ulang tahun untuk Kenji-san, kue ulang tahun, lilin, kado, kartu ucapan, kamera untuk dokumentasi dan sebagainya. Akhirnya, terjadilah momen kebersamaan tengah malam yang begitu hangat saat itu. I’m really miss that moment!

Tiga Minggu Penuh Cobaan

Selepas dari Darwin Turf Club, saya memulai pekerjaan baru di sebuah restoran di kawasan Darwin Waterfront. Saya mulai shifting dari Kitchen Hand yang terbiasa bekerja pada shift pagi, pindah ke shift malam di tempat baru ini. Saya harus belajar mengorbankan waktu malam yang seharusnya menjadi waktu istirahat dan quality time dengan teman-teman. Living Sacrifice!

Cobaan terberat adalah ada kalanya saya bekerja sungguh-sungguh overtime, mulai jam 6 sore dan selesai hingga jam 4 subuh. Kok bisa? Cucian piring dan perlengkapan dapur yang overload hampir setiap malam harinya ditambah sistem kerja yang tidak efisien membuat minggu-minggu awal saya bekerja di sini terasa begitu penuh cobaan (baca: stress). Beberapa kali saya harus bekerja seorang diri (yang seharusnya di-handle oleh minimal 2 orang Kitchen Hand) ditambah tidak adanya troli yang bisa saya pakai untuk mengangkut piring-piring kotor dari luar dapur selama restoran masih buka, saya harus bolak-balik dari Dishwashing Area menuju tempat piring kotor yang jaraknya cukup jauh, sambil membawa bak kosong untuk menampung piring-piring kotor tersebut. Pinggang saya rasanya mau copot karena pekerjaan Kitchen Hand yang ekstrim ini.

Salah satu cara saya memotivasi diri sendiri yang selalu stress di kala itu adalah dengan mengingat impian saya, mengingat motivasi awal saya memulai Working Holiday ini, kenapa saya mau ‘turun derajat’ setelah jauh-jauh ke negeri kangguru ini, semua demi keluarga yang saya kasihi di Indonesia. Mengingat momen-momen bahagia, bagaimana saya merasa begitu terberkati dan dicintai, selalu memacu semangat saya untuk kembali bekerja dan bertahan dalam cobaan ini. Cara lainnya, saya kembali membaca ulang cerita fiksi favorit saya seperti One Piece, dan menemukan satu hingga dua chapter yang kembali membangkitkan semangat dan mood saya pada kala itu. Secara rohani, hal yang serupa juga berlaku ketika kamu membaca Kitab Suci dan menemukan satu atau dua ayat yang menguatkan dirimu. Sometime in your life, you’ll feel that ‘aha’ moment (EUREKA!), don’t be afraid!

Pada akhirnya, saya hanya bertahan selama tiga minggu di sini karena saya mendapatkan pekerjaan baru di restoran lain yang saya harap akan lebih baik. Saya memutuskan untuk keluar dengan berbagai pertimbangan khususnya demi alasan kesehatan.

Menjadi Relawan di Vinnies NT

Berawal dari kebosanan saya karena tidak adanya aktivitas di pagi hingga siang hari (jam kerja saya saat itu hanya sore hingga malam hari), mampirlah saya ke salah toko retail Vinnies di kawasan Darwin CBD, dan dipertemukanlah saya dengan Bianca, salah seorang manager Vinnies NT. Sosok yang murah senyum dan begitu humble ini menjawab pertanyaan singkat nan polos dari saya, “hi there, how can i become a volunteer here?”, dan dalam waktu beberapa hari saya pun diberi kesempatan menjadi Retail Assistant di Vinnies Shop Darwin CBD ini.

Menjadi seorang Retail Assistant, saya belajar menata toko supaya selalu terlihat bersih dan rapi, belajar menggunakan cash machine, belajar 3S (Salam-Senyum-Sapa) kepada setiap pelanggan yang datang. Kembali lewat volunteering, saya menambah pengalaman akan sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Saya belajar mengenal karakter orang Australia yang begitu menghargai para relawan. Making money is a happiness, but making other people happy is a super happiness!

Rekan-rekan volunteer di Vinnies NT

Dua Bulan di Restoran Ducks Nuts

Kini saya menjadi semakin gesit di tempat kerja baru, mungkin ini efek positif karena sudah merasakan pekerjaan super berat nan stress sebelumnya. Tanpa memandang enteng pekerjaan baru di Ducks Nuts ini, saya bekerja dengan lebih semangat, tidak hanya karena pekerjaan di sini lebih manusiawi, tapi juga karena rekan-rekan kerja di sini begitu asik dengan 3S nya (Salam-Senyum-Sapa).

Ducks Nuts, salah satu restoran terbesar di Darwin (tutup akhir tahun 2017)

Saat itu, di akhir bulan September, bos Ducks Nuts, memberikan kabar ‘kurang baik’ ke setiap pegawainya termasuk saya, bahwa restoran ini akan tutup selamanya pada akhir bulan Oktober 2017 mendatang. So, kira-kira dalam satu bulan ke depan, kami semua harus meninggalkan pekerjaan di tempat ini, dan segera mencari tempat kerja baru di luar sana. Sebuah kabar yang mengejutkan khususnya bagi para pegawai yang sudah bekerja hingga beberapa tahun di sini. Tutupnya Ducks Nuts yang sudah beroperasi selama lebih dari 10 tahun di Darwin ini, tentu juga menjadi kabar yang kurang baik untuk mereka para pelanggan setia.

Dua bulan bekerja di sini juga menjadi penutup masa kerja saya di Darwin, Australia ini. Setelah mendengar kabar restoran mau ditutup tersebut, saya memutuskan untuk mengakhiri petualangan saya di Darwin di akhir Oktober, karena di satu sisi saya sudah berhasil mendapatkan 88 hari kerja sebagai syarat untuk perpanjangan Work and Holiday Visa saya, dan di sisi lain saya penasaran sekali dengan kota lain di Australia, seperti Brisbane atau Melbourne. Pilihan saya jatuh ke kota Melbourne dengan beberapa pertimbangan, salah satunya adalah industri kreatif di kota ini yang terlihat cukup aktif dan banyaknya event-event baik dari komunitas maupun industri di #1 most liveable city ini. Dalam benak saya, saya harus berusaha kembali ke industri yang sempat menghidupi saya selama di Jakarta dulu, yaitu Video Game dan Teknologi Informasi.

Rekan-Rekan Kerja di Ducks Nuts

Mendapatkan Visa Tahun Kedua

Beruntung semenjak sekolah saya sudah terbiasa mengurus administrasi sendiri tanpa bantuan orang tua. Mengumpulkan berkas-berkas, scan dokumen, dan hal-hal lain untuk melengkapi persyaratan, tidak menjadi kendala berarti bagi saya, karena semuanya cukup lengkap tercantum di website resmi-nya. Setelah lengkap semua persyaratan, saya segera submit form online di website imigrasi Australia, mengajukan proses untuk menambah satu tahun lagi masa tinggal saya di Australia dengan visa work and holiday.

Tanggal 11 Oktober 2017 saya melakukan aplikasi secara onshore (di wilayah Australia), penantian akan harapan mendapatkan visa tahun kedua ini pun dimulai. HAP ID dari medical check-up saya di tahun 2016 ternyata masih valid sehingga saya tidak perlu lagi melakukan medcheck di sini yang infonya ‘mahal’ biayanya, sekitar $300 di Darwin. Lumayan kan uang medcheck nya bisa untuk beli tiket pesawat ke Melbourne. Dan penantian panjang selama tiga minggu pun berakhir pada tanggal 2 November 2017, visa tahun kedua saya granted, *bisul petcahh. Terima kasih banyak untuk Merry, Dewi, dan teman-teman Cardona yang banyak membantu saya selama persiapan lodge visa ini. I’m feel blessed!

What’s Next

Saat tulisan ini selesai, saya sudah tinggal kurang lebih 2 minggu di Melbourne. Kembali saya mendapatkan banyak pengalaman baru, teman-teman baru, dan komunitas baru. Saya juga masih berusaha dan berjuang untuk mendapatkan pekerjaan di bidang teknologi informasi di sini, sebuah tantangan yang cukup sulit namun rasanya tidak mustahil juga. Jika ada waktu dan kesempatan, saya juga punya impian untuk menulis buku tentang cerita Working Holiday saya selama setahun ini. Saya akan berjuang lagi di kesempatan tahun kedua ini.

Terima kasih untuk semua teman-teman yang saya temui selama di Darwin dan Tennant Creek, i’m feel blessed to know you all.

Sekian tulisan saya kali ini, semoga menginspirasi!
“Karena berbagi bikin happy” *Pinjam quote nya Akademi Berbagi

Have a blessed day!

Notes:
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di blog pribadi saya pada November 2017.

--

--

Enlik Lee

Lifelong learner, explorer, podcaster. I write in English and Indonesian. Homepage: enlik.tech