Tanggal 28 Oktober — 4 November kemarin, saya akhirnya mendapatkan waktu untuk menjelajah Eropa lagi. Kurang lebih selama satu minggu saya mengunjungi tiga kota besar di Eropa Barat, dimulai dari Berlin, Paris, dan berakhir di Brussels. Tulisan kali ini akan saya fokuskan untuk cerita selama di Berlin.
Couchsurfing — Bertemu Warga Lokal Sekaligus Hemat Budget
Jauh hari sebelum keberangkatan, saya sudah terlebih dahulu berusaha untuk mencari local host via Couchsurfing, sebuah platform untuk berbagi tempat menginap kepada sesama traveler, alias Airbnb gratisan. Sejak dua tahun terakhir, saya mulai terbiasa menggunakan platform ini dan sungguh menambah pengalaman traveling karena saya sendiri memang suka mengobrol dengan orang baru karena ‘kepo’ dengan cerita dan pengalaman mereka, selain tentu juga untuk menghemat budget menginap :)
Di Berlin, saya di-host oleh anak muda asal Barcelona yang bekerja di ibukota Jerman ini, namanya Aleix. Kurang lebih selama satu setengah tahun dirinya tinggal di Berlin, anak muda tinggi yang postur badan dan raut wajahnya mirip Andrew Garfield ini, membuat saya belajar banyak soal kehidupan di Berlin, dimulai dari hal sederhana seperti bagaimana menghindari antrian airport yang panjang lewat saat arrival maupun departure lewat jalur khusus yang namanya BER Runway.
Selama 3 hari menginap di tempatnya, dirinya juga meluangkan waktu untuk membawa saya keliling kota Berlin, seolah-olah saya punya tour guide pribadi, alangkah senangnya! Aleix ternyata juga senang jalan kaki jarak jauh dan tentunya tahu juga soal Camino de Santiago. Jalan kaki sambil belajar tentang budaya lokal, paket kombo yang sehat untuk badan dan juga otak :)
Kota Dengan Banyak Ruang Terbuka Hijau
Saya bisa merasakan kota Berlin sebagai salah satu kota paling hijau di Eropa. Saya masih bisa menikmati alam dan keindahan alam di tengah kota padat yang berpenduduk sekitar 3.7 juta orang ini. Banyaknya taman dan ruang terbuka membuat warga bisa berekreasi, olahraga, dan bersantai sejenak.
Saking cintanya warga lokal terhadap isu lingkungan hijau, ada beberapa kelompok dan individu di Berlin yang memiliki kekhawatiran dan ketidaksetujuan terhadap Giga Factory Tesla yang akan dibangun oleh Elon Musk di wilayah Grünheide, dekat Berlin. Mereka khawatir terhadapt dampak lingkungan yang mungkin dihasilkan dari pabrik ini khususnya tentang penggundulan hutan dan dampaknya pada ekosistem lokal, penggunaan air, serta dampak lalu lintas dan polusi udara yang mungkin terjadi sebagai akibat dari operasi pabrik.
Bertemu Teman Indonesia di Berlin
Hari Minggu siang, saya menyempatkan diri untuk mengikuti perayaan ekaristi di Gereja Katolik Santo Augustinus, Berlin. Beruntung ada teman saya dari World Youth Day Lisbon kemarin yang tinggal di sini, Tobi. Setelah janjian untuk ketemuan, eh ternyata timing nya pas untuk sekalian misa bareng. Ternyata misanya dalam bahasa Indonesia, wah rasanya berbeda sekali karena terasa seperti kembali pulang ke Indonesia. Setelah misa, diadakan acara makan siang bersama di ruang makan di belakang gereja. Beberapa relawan keluarga katolik Indonesia di Berlin sudah menyiapkan makanan khas Indonesia, opor ayam, labu siam, telur asin, dan tentunya sambel khas Indonesia, yum! Selain catch=up dengan Tobi, saya jadi bisa kenalan juga dengan beberapa pelajar dan expat Indonesia yang tinggal di Berlin :)
Jerman Pasca Kekalahan di Perang Dunia kedua
Kebiasaan baru saya, sebelum mengunjungi tempat baru, saya akan mencari video sejarah singkat tentang tempat tersebut, unduh ke handphone, dan menontonnya dalam perjalanan. Saya jadi belajar bahwa Jerman pasca perang dunia kedua terbagi atas beberapa wilayah kekuasaan, wilayah Jerman Barat yang dikuasai oleh negara-negara Barat (Inggris Raya, Perancis, dan Amerika Serikat), dan wilayah Jerman Timur yang dikuasai oleh Uni Soviet. Namun, ibukota Berlin terpecah lagi menjadi menjadi Berlin Barat (dikuasai AS) dan Berlin Timur (Uni Soviet), yang membuat warganya harus melewati Charlie Checkpoint, setiap kali ingin menyebrang ke bagian lain, sebelum diruntuhkannya tembok Berlin.
Makan Siang Dengan Wanita Estonia Yang Tinggal di Berlin
Lewat Couchsurfing juga, saya dipertemukan dengan wanita Estonia yang tinggal di Berlin, namanya Anni-Loo. Dirinya juga pengguna setia Couchsurfing sejak tahun 2008, dan sudah memulai petualangan hitchhiking semenjak usia 18 tahun. Wanita petualang ini juga menghabiskan cukup banyak waktunya bekerja untuk NGO Jerman di Irak, sebelum kembali lagi ke Eropa untuk mengejar studi S2 nya. Saya belajar banyak dari Anni untuk berani mengikuti intuisi dan suara hati, tanpa harus terikat faktor eksternal seperti “apa kata orang lain nanti?”.
Strolling di sekitar kota Berlin
East Side Gallery — Berlin
Selain pengalaman bertemu dengan warga lokal, rasanya kurang lengkap kalau tidak mengunjungi beberapa tempat bersejarah. Dimulai dari East Side Gallery yang merupakan simbol reunifikasi Jerman dan akhir dari Perang Dingin. Galeri ini memiliki lebih dari 100 lukisan dinding dengan pesan politik dan seni yang kuat, yang mencerminkan sejarah dan perasaan yang terkait dengan Tembok Berlin.
Salah satu lukisan yang paling terkenal di sini adalah “Fraternal Kiss” atau “Bruderkuss” dalam bahasa Jerman. Lukisan ini menggambarkan dua pemimpin negara sosialis, yaitu Leonid Brezhnev dari Uni Soviet dan Erich Honecker dari Jerman Timur, yang sedang berciuman. Lukisan ini menggambarkan hubungan dekat antara kedua negara sosialis pada saat itu. Lukisan ini diciptakan oleh seniman asal Russia, Dmitri Vrubel pada tahun 1990 setelah runtuhnya Tembok Berlin.
Topography of Terror
Museum ini memiliki peran penting dalam mengingatkan dunia tentang kejahatan yang dilakukan selama masa kekuasaan Nazi dan menjadikan sejarah ini sebagai pelajaran agar hal serupa tidak terulang. Museum ini juga menghormati para korban kekejaman Nazi. Mengunjungi Topography of Terror adalah pengalaman yang menggugah dan mendidik yang membantu memahami sejarah kelam Jerman dan peringatan akan bahaya ekstremisme dan penindasan dalam sejarah manusia.
Brandenburg Gate
Dibangun antara tahun 1788 dan 1791 dalam gaya neoklasik oleh arsitek Carl Gotthard Langhans. Gerbang ini terdiri dari delapan pilar Dorik yang mengelilingi tiga gerbang yang lebar. Pada pilar utama gerbang terdapat patung kereta kuda berjuluk “Quadriga,” yang dipandu oleh Dewi Kemenangan. Setelah jatuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989 dan reunifikasi Jerman pada tahun 1990, Brandenburg Gate menjadi simbol persatuan kembali Jerman dan berakhirnya Perang Dingin, serta merupakan simbol perdamaian, persatuan, dan kebebasan di Jerman dan Eropa.
Penutup
Berlin sebagai ibukota Jerman adalah kota yang kaya akan sejarah, budaya, dan perubahan. Dari tembok yang membagi kota menjadi dua bagian hingga reunifikasi dan kesatuan kembali, Berlin adalah saksi sejarah yang menakjubkan. Mengunjungi East Side Gallery yang memamerkan seni jalanan yang berbicara tentang perubahan besar di Jerman, dan merasakan keajaiban dan kebesaran Brandenburg Gate yang menyatukan bangsa, adalah pengalaman yang menggugah. Tidak lupa, Topography of Terror mengingatkan kita akan kejahatan kemanusiaan yang pernah terjadi dan pentingnya menjaga perdamaian dan persatuan. Berlin adalah kota yang menyiratkan bahwa sejarah, pelajaran, dan harapan untuk masa depan dapat bersatu dalam satu tempat yang luar biasa ini.
Perjalanan ke Berlin membuat saya lebih memaknai arti sebuah persatuan dan hidup dalam kebebasan. Sejarah kelam bangsa Jerman tidak menjadikan mereka terlarut dalam penyesalan, namun justru menjadikan momen tersebut untuk bangkit kembali. Pertemuan dengan beberapa teman baru dan teman lama juga mampu menerangkan suasana hati yang seringkali terasa gelap seiring dengan musim dingin yang sudah datang ke Estonia :D
Danke schon, Berlin! :)