World Youth Day Lisbon 2023 baru saja berakhir, dan di kesempatan kali ini saya ingin kembali menuliskan sedikit cerita dan pengalaman yang saya rasakan selama mengikuti peziarahan orang muda katolik sedunia ini. Tema WYD Lisbon 2023 ini adalah “Maria Bangkit dan Bergegas” yang diambil dari ayat Kitab Suci Lukas 1:39.
Perkenalan dengan WYD
Apa itu World Youth Day?
World Youth Day (WYD) adalah sebuah acara yang diadakan oleh Gereja Katolik Roma untuk para orang muda dari seluruh dunia. WYD pertama kali diadakan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1985 di Roma, Italia. Acara ini diadakan setiap dua atau tiga tahun sekali di berbagai negara yang berbeda. Selama acara ini, para peserta memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan rohani seperti misa, doa, seminar, dan acara sosial. Biasanya, acara puncak dari World Youth Day adalah misa besar yang dipimpin oleh Paus.
Nah, yang seru dari WYD itu adalah orang-orang muda dari segala penjuru dunia bisa kenal satu sama lain dan saling berbagi cerita serta pengalaman. Jadi, acara ini juga bukan cuma buat nambah ilmu agama, tapi juga buat memperkuat semangat dan persaudaraan di antara mereka. Pokoknya, tujuannya adalah memperkuat iman dan menginspirasi orang muda untuk menjadi agen perubahan positif bagi masyarakat di sekitarnya. Lisbon menjadi tuan rumah WYD tahun ini, setelah sebelumnya di adakan di Krakow, Polandia (2016) dan Panama City, Panama (2019).
Saya pribadi sudah mendengar WYD sejak 2016 di Krakow, Polandia. Saat itu saya masih terhalang oleh kondisi finansial dan waktu cuti yang rasanya mustahil saya dapatkan ketika bekerja di Jakarta dulu. Saya begitu bersemangat ketika melihat Asian Youth Day 2017 yang diadakan di Indonesia kala itu, meski hanya lewat live streaming via YouTube, dan bermimpi untuk jadi mengalaminya secara langsung di kemudian hari (mimpi itu gratis kok, teman-teman :D). Kesempatan itu saya dapatkan di Australia Catholic Youth Festival di Sydney tahun 2017, sebuah versi mini dari WYD. Ketika di tahun 2019 yang lalu tahu bahwa WYD selanjutnya akan diadakan di Lisbon, dan posisi saya yang sedang studi di Eropa saat itu, makin yakinlah saya bahwa inilah kesempatan untuk mengikutinya sebelum saya terlalu tua untuk disebut Orang Muda Katolik (OMK), pikir saya setengah bercanda waktu itu.
Mendaftar lewat Tim WYD Indonesia
Awal Oktober 2022, menjadi titik awal perkenalan saya dengan tim WYD Indonesia. Saya terkesima dengan lagu tema WYD Lisbon yang dicover oleh tim Komkep KWI (Konferensi Wali Gereja Indonesia). Nuansa Indonesia dipadukan dengan pesan utama dari WYD Lisbon, “Bangkit dan Bergegaslah” begitu mengena di hati saya. Rasa rindu untuk kembali mengikuti peziarahan bersama teman-teman Indonesia begitu kuat, khususnya setelah merasakan beratnya hidup dalam perantauan ditambah situasi masa pandemi kemarin. Dipicu hal tersebut, saya langsung menghubungi Whatsapp tim kerja WYD Lisbon dan melakukan follow-up sampai akhirnya saya memantapkan niat untuk ikut di awal tahun 2023.
Pilgrimage Weekend, 13–14 Mei 2023
Pilgrimage Weekend (PW) ini dilaksanakan sebagai sarana untuk mempersiapkan calon peserta khususnya dalam pengembangan iman dan pribadi sebelum berangkat ke WYD dua bulan kemudian. Bersyukur karena pada saat PW ini sedang dilangsungkan, saya sedang berada di Indonesia, jadi bisa ikut secara on-site. Namun sedihnya, saya kena diare selama PW ini, jadi tidak bisa benar-benar memanfaatkan waktu secara maksimal untuk berkenalan dengan teman-teman baru di sini. Untuk mereka yang tinggal di luar negeri, tim kerja juga menyiapkan PW secara online via zoom.
Selama PW, kami saling berkenalan dengan teman-teman sesama peserta, ice breaking games, sesi mengenal peziarahan WYD oleh tim kerja, dan juga misa bersama. Beberapa dari kami juga mempersiapkan performance tarian dan nyanyian yang akan kami tampilkan di Portugal nanti.
Ziarah ke Fatima, 24–25 Juli 2023
Saya tiba di Lisbon dua hari lebih awal sebelum teman-teman dari WYD Indonesia sampai. Waktu dua hari ini saya manfaatkan untuk mengikuti misa harian jam 11 siang di Gereja Santo Antonius Padua di Lisbon. Lalu kemudian membeli sim card Vodafone unlimited 15 hari, bertemu teman relawan WYD, lalu berangkat ke Fatima malam harinya untuk menginap satu malam. Jarak Lisbon ke Fatima hanya sekitar 1.5 jam via bus.
Tanggal 24–25 Juli juga saya pakai untuk bekerja remote, karena saya baru mengambil cuti keesokan harinya hingga dua minggu ke depan. Keuntungan menginap di Fatima adalah saya jadi punya kesempatan untuk mengikuti doa Rosario dilanjutkan dengan prosesi perarakan lilin Fatima di saat hari sudah mulai gelap. Selesai prosesi ini, saya juga bertemu dengan teman-teman peziarah dari Timor Leste. Saya mengobrol cukup panjang dengan Nivio dan Ula yang masih fasih berbahasa Indonesia, dan ini memudahkan kami untuk saling berkomunikasi satu sama lain. Sebelum berpisah malam itu, mereka juga memberikan sebuah suvenir berupa syal kain tenun khas Timor, gelang bertuliskan Timor Leste, betapa bahagianya malam itu di Fatima.
Days in Diocese (DID) Porto, 25–31 Juli 2023
Tinggal Bersama Host Family
Setelah menginap satu malam di Fatima, saya kemudian bertemu dengan teman-teman WYD Indonesia di Fatima. Mereka tiba jam 8 pagi di bandara internasional Lisbon dan langsung berangkat ke Fatima untuk melakukan ziarah singkat, lalu mengikuti perayaan ekaristi sore harinya. Selesai misa, kami langsung berangkat ke Porto dengan bus yang sudah disiapkan tim kerja.
Tiba di Porto, DID menjadi kegiatan pembuka sekaligus pemanasan sebelum WYD di minggu selanjutnya. Tim WYD Indonesia bersama beberapa teman dari Republik Ceko dan Nicaragua, mendapat lokasi di Paroki Gulpilhares, Vila Nova de Gaia, Keuskupan Porto. Bersyukur karena kami mendapatkan host family di sini, jadi tidak perlu tinggal di aula gymnasium sekolah seperti beberapa tim lainnya.
Satu host family bisa menampung 2–4 orang. Saya ditempatkan berdua bersama Ben, untuk tinggal bersama Grandma Eugenia dan anak laki-laki nya, pak Jose. Seiring dengan waktu, saya menyadari bahwa ada banyak kesamaan antara saya dan Ben, mulai dari hal-hal kecil seperti sandal dan sepatu kami yang merk nya sama 😂
Tinggal bersama Grandma yang hanya bisa berbahasa Portugis menjadi tantangan tersendiri bagi kami. Meski Google Translate seringkali menjadi penolong kami, tapi tetap saja ada kalanya kami hanya bisa iya-iya saja sambil membaca bahasa tubuh si Grandma. Kalau ada anaknya, pak Jose, kami terbantu sekali, karena si bapak bisa berbahasa Inggris dengan baik. Sayangnya pak Jose jarang berada di rumah karena bekerja dari pagi hingga malam.
Ada satu momen yang terasa lucu, yaitu ketika saya terlambat menghabiskan sarapan pagi, dan Grandma tidak membolehkan saya pergi berangkat ke luar sebelum menghabiskan sarapan saya tersebut, sambil mengangkat centong kayu seperti ingin memukul saya 😂. Hal ini sungguh-sungguh membuat saya teringat akan mendiang Mama saya, yang terkadang menunjukkan kasih sayangnya lewat cara seperti ini. Bedanya, mama saya tidak menggunakan centong kayu, melainkan pakai sapu lidi 😆
Kurang lebih 6 hari tinggal bersama mereka, ditambah anjing putih kesayangan, Mara, dan si kucing hitam pendiam, Pipete (saya lupa nama tepatnya 😁), membuat saya merasakan memiliki keluarga baru di Porto. Tidak hanya lewat sarapan pagi dan makan malam bersama setiap harinya, tapi juga lewat begitu banyak act of service yang Grandma berikan, selayaknya mama kami sendiri. Usianya yang sudah 78 tahun (sama seperti usia Republik Indonesia), semakin membuat kami terkesima, karena Grandma masih mampu berjalan tanpa tongkat, melakukan semua pekerjaan rumah sendiri, mengingat anak-anak nya yang lain sudah tinggal di luar rumah semua kecuali Jose. Grandma bahkan masih aktif ikut kegiatan folk dance di teater dekat rumah dan paroki.
Di malam terakhir, saya dan Ben memberikan sedikit souvenir dan hadiah perpisahan untuk Grandma dan Jose. Tempelan kulkas, kartu pos bertuliskan surat cinta untuk mereka berdua, sekaligus cetak foto dari beberapa foto selfie kami bersama (yang untungnya sempat saya print ketika waktu bebas menjelajah kota Porto). Grandma begitu bahagia, terlihat dari raut wajahnya, hingga keesokan paginya menulis surat cinta yang begitu menyentuh dalam bahasa Portugis, yang kami terjemahkan dengan bantuan Google Translate lagi.
Kegiatan DID Porto di luar Host Family
Selain kegiatan bersama host family, tim DID Gulpilhares (Porto) juga menyiapkan serangkaian acara selama tanggal 25-31 Juli 2023. Mereka bahkan sampai menyiapkan website khusus supaya kami bisa melihat itinerary kegiatan, doa dan renungan setiap harinya. Kami juga diberikan name tag beserta kartu transportasi publik Porto dan kupon makan yang bisa kami gunakan selama DID ini.
Kegiatan yang kami lakukan di antaranya seperti jalan kaki menjelajahi wilayah Gulpilhares, mengunjungi Gereja sekitar, kapel di tepi pantai, pusat kebudayaan, stadion olahraga hockey, hingga ke panti werdha. Di waktu luang, kami bisa menjelajah kota Porto bersama-sama. Satu hal yang bikin kami kaget di awal DID ini adalah melihat antrian tuker kupon makanan yang begitu panjang. Buat yang punya budget lebih, bisa menghemat waktu dengan pergi ke restoran berbayar, lalu menukar kuponnya saat sudah sepi di sore harinya. Pengalaman bertukar souvenir dengan beberapa peziarah yang kita temui di sepanjang jalan, menyanyi heboh di dalam kereta, hingga berdesak-desakan juga kami alami, yang katanya sebagai ‘pemanasan’ sebelum ke Lisbon 😂
Jumat malam, 28 Juli, tim DID Gulpilhares menyiapkan malam api unggun di mana masing-masing perwakilan negara, Indonesia, Republik Ceko, Nicaragua, dan juga tuan rumah Portugal diperbolehkan untuk menampilkan karya seni kami masing-masing. Tim WYD Indonesia tampil mengesankan lewat alat musik Sasandu yang dibawa oleh Mateo Jubilo (@majusberkarya) dipadukan dengan nyanyian dan tarian tradisional Indonesia oleh beberapa teman-teman kita. Malam itu juga kami mengajarkan bahasa gaul, ‘anjay’, ke teman-teman Porto 😁
Hari Sabtu, 29 Juli pagi, kami mengikuti misa bersama satu keuskupan Porto yang dipimpin oleh Uskup Porto, Manuel Linda. Misa ini terasa begitu megah karena dihadiri oleh semua tim WYD dari berbagai negara yang melakukan DID di Porto.
Malam harinya kami disuguhkan dengan pertunjukan teatrikal yang luar biasa, merangkum semua event WYD dari Rome 1985 hingga Lisbon 2023. Saya bisa melihat dari dekat seperti posisi VIP, karena sepertinya banyak yang sudah pulang ke paroki masing-masing di malam harinya. Ini menjadi pengalaman terbaik yang saya rasakan, karena di Lisbon nanti, sulit sekali mendapatkan posisi dekat dengan panggung seperti ini.
Minggu, 30 Juli menjadi misa mingguan di mana Gereja penuh tidak hanya oleh para peziarah, namun juga para umat paroki Gulpilhares itu sendiri. Selesai misa, kami punya acara bebas bersama host family dari siang hingga sore hari, sebelum berkumpul lagi untuk pesta taman di daerah pantai dekat kapel Senhor da Pedra. Selain disiapkan berbagai makanan/minuman dan snack, kami juga berdansa bersama, lalu ditutup dengan DJ hingga matahari terbenam.
Senin, 31 Juli, menjadi hari perpisahan kami dengan host family dan teman-teman baru di Porto. Banyak dari kami saling berpelukan terbawa perasaan haru, karena kami menyadari bahwa mereka sudah mau menjadi bagian dari hidup kami, begitu pula kami yang ingin belong ke mereka. Ditutup dengan misa perutusan di pagi hari, kami berangkat dengan bus yang sudah disiapkan oleh tim dari Porto menuju Lisbon untuk mengikuti acara utama WYD. Bus berangkat, sambil melihat lambaian tangan penuh kasih dari teman-teman dan keluarga di Porto. Rasanya seperti Harry Potter dkk yang pulang dari Hogwarts setelah mengalami begitu banyak pengalaman berharga di sini. FYI, kota Porto memang memiliki banyak referensi ke dunia fiksi ciptaan J.K. Rowling, mengingat si penulis novel dari Inggris pernah tinggal di sini, sebuah cocoklogi yang sungguh berfaedah yah. 😁
WYD Lisbon 1–6 Agustus 2023
Bersahabat dengan Ketidaknyamanan
Dalam perjalanan bus, tim kerja membagikan pilgrim kit berisikan topi, , botol minum, t-shirt berlogokan WYD Lisbon, dan nametag (dengan QR code yang berfungsi juga sebagai kupon makanan). Tiba di Lisbon, kami akhirnya mendapatkan lokasi tempat tinggal di aula gymnasium sekolah untuk 1 minggu ke depan. Nama sekolahnya adalah Escola Secundária José Cardoso Pires di Loures (1 jam perjalanan bus dari pusat kota Lisbon). Lokasinya sungguh asri karena berada di atas perbukitan, sehingga pemandangan di luar sekolah begitu indah. Suasana yang sungguh kontras dengan kenyamanan yang kami dapatkan ketika tinggal di rumah host family, tidak ada lagi kasur nyaman, kamar mandi pribadi, dan fasilitas-fasilitas dari DID Porto kemarin yang sekarang terasa mewah. 😁
Untuk laki-laki, ditempatkan sebuah lapangan olahraga indoor super luas yang mampu menampung hingga ratusan orang namun tanpa sekat, tanpa privasi, hanya beralaskan matras yang kita bawa beserta sleeping bag. Colokan listrik juga begitu terbatas, hingga begitu banyak kabel roll saling menyambung satu sama lain (untungnya tidak sampai terjadi korsleting listrik). Untuk perempuan, ditempatkan di ruang-ruang kelas sekolah yang terpisah cukup jauh dari hall gymnasium. Sedihnya, tidak ada kamar mandi di gedung tempat ruang kelas, sehingga para peziarah perempuan harus rela berjalan beberapa ratus meter untuk menggunakan kamar mandi di hall gym sekolah, yang tentunya terpisah dari kamar mandi laki-laki. Akan tetapi, baik kamar mandi laki-laki maupun perempuan adalah kamar mandi terbuka, tanpa sekat, dengan shower mirip seperti ruang bilas di kolam renang Indonesia. Untuk budaya orang Asia pastinya terasa aneh untuk fully naked di kamar mandi terbuka seperti itu, jadi kebanyakan dari kita yang tinggal di sini masih tetap memakai celana dalam ketika mandi, kira-kira seperti mandi bilas selesai berenang.
Ketidaknyamanan belum selesai di situ, karena tantangan selanjutnya adalah suara orkestra malam hari dari ratusan orang yang tidur bersama dalam ruangan terbuka tanpa sekat. Untungnya bagi saya, pengalaman ini sudah pernah dirasakan sebelumnya saat tidur di albergue penuh dengan para peziarah saat melakukan Camino de Santiago tahun lalu di Spanyol tahun lalu. Untuk mereka yang baru pertama mengalaminya, mungkin ini terasa seperti mimpi buruk. Dilihat dari kacamata orang bijak, inilah salah satu esensi dari sebuah ziarah, bersahabat dengan ketidaknyamanan, sehingga kita menjadi pribadi yang lebih bersyukur setelahnya.
Quality Time Bersama Teman-Teman Peziarah
Terbantu dengan aplikasi resmi WYD Lisbon, kami bisa melihat jadwal seluruh acara dari tanggal 1–6 Agustus 2023. Ada sebuah fitur untuk melihat carbon footprint kita masing-masing, sepertinya datanya berasal dari konsumi makanan yang kita gunakan dari kupon. Meski terlihat seperti gimmick saja, saya melihat ini merupakan sebuah bentuk komitmen Portugal (dan Uni Eropa secara luas) dalam menyikapi perubahan iklim. Aplikasi ini juga membantu untuk mencari titik-titik lokasi acara, restoran-restoran yang menerima penukaran kupon, hingga panduan rute via google maps.
Selain aplikasi, mereka juga menyediakan Pilgrim’s Handbook dan Prayer’s Book secara tersedia secara digital di sini. Dua buku digital ini sangat membantu sebagai companion untuk journaling, berdoa, dan meresapi setiap momen yang ada di WYD ini. Saya yang lebih menyukai membaca guidebook ketimbang menonton video, sangat terbantu dengan hal ini.
Namun, kendala yang saya rasakan selama WYD berlangsung adalah lokasi acara yang berjauhan ditambah public transportation yang seringkali terlambat atau penuh sesak, antrian untuk mengikuti seminar yang begitu panjang, khususnya untuk seminar populer seperti Theology of the Body dari Christopher West.
Alhasil, saya lebih memilih untuk quality time bersama teman-teman WYD Indonesia, bergabung dalam kelompok yang berbeda untuk bisa mengenal mereka lebih dekat. Beberapa dari teman-teman ternyata ada yang baru menyelesaikan ziarah jalan kaki, camino de santiago. Ada juga yang opa-nya menulis buku soal Camino dalam bahasa Indonesia. Lalu, ada juga teman-teman content creator yang karya-karyanya bikin saya terkagum-kagum. Dan beberapa teman yang tinggal di Sydney dan Melbourne yang ternyata memiliki beberapa mutual friend dari komunitas yang saya ikuti saat berada di Australia dulu. Lalu teman-teman dari luar pulau Jawa yang tentunya butuh usaha ekstra untuk ikut WYD ini. Saya sungguh-sungguh merasakaan kebhinekaan dalam tim WYD Indonesia.
Di kesempatan lain, saya juga masih bisa mengikuti pengakuan dosa, mengunjungi vocational fair, hingga adorasi di malam hari yang begitu menyentuh. Dan inilah jalan ̶n̶i̶n̶j̶a̶ WYD-ku.
Kekacauan di Pintu Masuk Menuju Opening Mass
Misa pembuka yang diadakan di Parque Eduardo VII, menjadi pengalaman kurang mengenakkan yang saya dan beberapa teman rasakan. Kami yang datang terlalu mepet dengan jadwal misa, padahal masih sekitar 1–2 jam sebelum misa dimulai, tetap terkendala dengan antrian masuk, mengingat besarnya jumlah peserta WYD Lisbon ini ditambah kurangnya informasi dari para relawan soal jalur masuk per zona ini. Kurang lebih 1–2 jam beberapa dari kami stuck di dalam antrian karena jalur masuk ditutup dan dijaga oleh tim security dengan alasan untuk membuka jalan bagi para Imam dan Uskup yang akan memasuki area altar misa.
Jalan Salib yang Begitu Banyak Pesan Tersirat
Untuk Jalan Salib, tim WYD Indonesia memutuskan untuk berangkat bersama sekitar 4 jam lebih awal demi mendapatkan posisi tempat duduk yang pas dan dekat dengan layar besar. Prosesi kali ini adalah jalan salib dengan beberapa visualisasi teatrikal, yang menekankan tentang isu-isu terkini di dunia modern seperti ketidakadilan, rasa kesepian, diskriminasi, adiksi, perpecahan dalam keluarga, hingga perubahan iklim. Semua isu itu disampaikan lewat pesan tersirat tidak hanya lewat penampilan teatrikal namun juga dalam video testimoni para korban yang berhasil melewatinya.
Perjalanan menuju Campo da Graça untuk Vigil dan Missioning Mass
Akhirnya momen puncak dari WYD tiba, di mana kami harus berjalan kaki dengan membawa beban berupa sleeping bag dan matras, untuk camping bersama di lokasi alam terbuka, Campo da Graça. Mirip seperti Opening Mass, kami mengalami kendala antrian masuk karena menumpuknya peziarah di titik akhir. Di samping itu, proses pembagian meal kit juga memiliki kendala serius, karena banyak stok makanan yang habis di beberapa titik akhir, sehingga banyak teman-teman yang tidak kebagian makanan dan jadi mulai mengamuk (kebayang kan emosi orang-orang yang kelaparan setelah jalan kaki panjang ditambah membawa beban berat).
Selesai melewati rintangan lautan manusia dalam antrian tersebut, kami tiba di lokasi camping, zona B, yang tidak kalah menantang. Selimut debu dan batu kerikil di sepanjang tanah camping membuat kami bertanya-tanya, “bisa tidur gak ya dengan kondisi begini?”. Matras tidur kami juga banyak yang menjadi korban injakan kaki orang-orang yang lalu-lalang, karena memang tidak dibuat jalur khusus untuk berjalan keluar masuk daerah camping. Antrian toilet di sini juga super panjang, kebayang gak sih udah kebelet, eh malah harus ngantri panjang lagi. Saya sendiri memilih jalur rebel, dengan mencari daerah sepi semak-semak dekat sungai, di mana ada pagar kawat yang sudah sedikit dirusak supaya kita bisa lewat, untuk buang air kecil di situ. Rasanya seperti wilayah camping ini dibangun secara terburu-buru. Dengan segala ketidaknyamanan itulah kami menghabiskan waktu Sabtu sore hingga Minggu pagi di sini.
Misa Perutusan Bersama Paus dan Ratusan Ribu Orang Muda
Saya pribadi tidak bisa mengikuti misa secara utuh, karena lokasi layar yang cukup jauh dari tempat camping kami. Jadi selama misa, saya lebih mengandalkan indera pendengaran dan hati penuh iman serta rasa syukur karena sudah merasakan hal yang ditunggu-tunggu ini di masa muda saya. Paus Fransiskus menyampaikan homilinya waktu itu menggunakan bahasa Spanyol, sehingga saya meminta teman sebelah, orang Mexico, untuk membantu menerjemahkannya. Ternyata transkrip multi-bahasa nya juga bisa dibaca via website Vatican.ca
Pagi harinya, sekitar jam 6 pagi, kami dibangunkan dengan musik DJ yang dimainkan oleh Pastor asal Porto, Padre Guilherme. Serentak kami yang masih nyenyak dalam tidur terkaget-kaget. Siapa sangka acara spiritual seperti WYD akan menampilkan musik DJ (baca: dugem) sebagai alarm pagi harinya :D
Sebelum misa perutusan dimulai, Paus juga berkeliling ke semua zona camping untuk menyapa semua orang muda dari mobil jeep. Beberapa dari kami juga berkesempatan untuk melihat Paus dari jarak begitu dekat, sehingga menjadi sebuah sukacita tersendiri untuk mereka yang merasakan kedekatan dengan Bapa Suci berusia 86 tahun ini.
Pesan penutup Paus Fransiskus di misa perutusan dikutip dari website Vatican:
Dear young people, I would like to look into the eyes of each of you and say: Do not be afraid. I will tell you something else, also very beautiful: it is no longer I, but Jesus himself who is now looking at you. He knows each of your hearts, each of your lives; he knows your joys, your sorrows, your successes and failures. He knows your heart. Today, he says to you, here in Lisbon, at this World Youth Day: “Have no fear, take heart, do not be afraid!”.
Beliau begitu menekankan soal kata-kata “Jangan Takut”, karena orang muda bukan hanya masa depan Gereja, tapi juga masa depan planet bumi tercinta ini.
Selesai misa penutupan, diumumkanlah tuan rumah WYD selanjutnya, Seoul, Korea Selatan, 2027. Antusias langsung dirasakan oleh banyak orang, termasuk kami orang Indonesia, karena kedekatan kami dengan budaya Korea Selatan. Jadi, masih empat tahun lagi menuju WYD selanjutnya. Mari menabung dan mempersiapkan diri lagi tanpa lupa untuk menikmati hidup berkepenuhan dalam Tuhan sebagai orang muda. Jangan Takut!