Di tulisan singkat ini, gw akan mencoba menulis dalam bahasa Indonesia lagi, sambil pelan-pelan mengingat apa saja yang sudah terjadi selama 31 tahun hidup gw ini, dalam kurang lebih 1 jam refleksi. Harap maklum kalau struktur penulisan tidak rapih :D
Tahun lalu, sebelum ulang tahun ke-30, gw sempat iseng membuat episode podcast bertemakan time travel, gimana kalau gw bisa ngobrol sama diri gw di 10 tahun yang lalu.
Gw juga menulis cerita singkat tentang pengalaman sebelum berusia 30 tahun di sini.
Quarter Life Crisis dan Kensho Moments
Di usia ke-31 ini gw bersyukur banget, karena akhirnya berhasil melewati yang kata banyak orang, quarter life crisis di usia 20 tahun an. Hidup di perantauan, bokap sampai jual rumah demi biaya kuliah gw dan sekolah adik-adik gw, kerja banting tulang di Australia, kecopetan di KRL Jabodetabek, telat bayar uang SPP sekolah dan biaya semesteran kuliah, bolak-balik Bekasi-Depok demi ngurus skripsi dan ijazah kuliah, dan masih banyak kesulitan-kesulitan lainnya. Belakangan ini gw baru belajar dari kelas di Mindvalley bahwa ada yang namanya Kensho moments. Nah momen-momen sulit yang gw rasakan itu ternyata adalah bagian dari Kensho moments, khususnya bagaimana diri gw mengalami proses pengembangan diri lewat kesulitan dan tantangan yang gw hadapi. Mirip seperti bangsa Saiya di manga Dragon Ball, makin sulit lawan yang dihadapi, makin kuat juga orang Saiya tersebut. Mungkin Akira Toriyama juga terinspirasi dari konsep ini.
Berkarir dan Berkembang di Jakarta
Lulus kuliah S1 setelah 4 tahun bolak balik Bekasi-Jakarta-Depok, membuat gw belajar bahwa hidup tuh gak cuma di kawasan rumah aja. Sebelum lulus kuliah pun, gw udah mulai aktif untuk mengikuti kegiatan-kegiatan di luar kampus yang dirasa mampu memberikan nilai tambah untuk kemampuan gw. Beberapa kegiatan yang pernah gw ikuti seperti hackathon dari TechInAsia, Nokia, Microsoft, dan BlackBerry, lalu open talk dari komunitas seperti StartupLokal (terbantu oleh artikel dari DailySocial saat itu untuk cari info soal acara ini), dan ikut kegiatan pelatihan public speaking seperti ToastMaster. Itu beberapa yang gw inget dan gw yakin mampu untuk menangani stereotype bahwa anak IT itu cuma bisa ngomong sama komputer.
Hidup di Jakarta, membuat gw juga jadi lebih aktif secara spiritual, gw mengikuti beberapa retret dari beberapa komunitas Katolik di Jakarta. Lalu ikut Sekolah Evangelisasi Pribadi dari Shekinah yang mengasah kemampuan berdoa dan pelayanan selama dua tahun. Ini jadi bekal rohani yang bermanfaat banget khususnya karena setelah ini, gw akan merantau lebih jauh lagi, gw jadi lebih siap.
Working Holiday di Australia
Australia benar-benar mengubah gaya hidup gw 180 derajat. Dari yang biasanya bekerja hanya duduk termangu di depan komputer selama kurang lebih 8 jam sehari, kini gw belajar untuk berdiri di dapur restoran selama 8 jam lebih. Dua tahun di Australia, gw benar-benar lepas dari pekerjaan IT, yang di satu sisi membuat gw rindu akan pekerjaan ini, namun di sisi lain gw belajar melihat kehidupan dari sisi yang jauh lebih rendah, sebagai tukang cuci piring. Beruntung satu hari di masa working holiday Australia ini, gw mendengar sebuah podcast yang berkisah tentang kehidupan anak Elang dan anak ayam. Singkat cerita, itu mengubah mindset gw bahwa gw harus berpikir seperti anak elang bukan anak ayam, karena gw yakin tempat gw bukan di dapur selamanya, tapi di bidang teknologi informasi. Hal itu yang secara tidak langsung membukakan jalan gw kuliah ke Eropa nantinya.
Kuliah dan Bekerja di Estonia
Awal Mei 2019, gw begitu berbahagia karena akhirnya mendapatkan email offer letter dari University of Tartu, Estonia yang menerima gw sebagai mahasiswa S2 jurusan Software Engineering. Hidup di Estonia ini kembali menantang karena budaya yang sangat berkebalikan baik dengan Indonesia maupun Australia. Untuk bisa berkomunikasi dengan baik dibutuhkan setidaknya kemampuan bahasa Estonia atau Russia. Namun seperti yang sudah diceritakan di awal, ini gw rasa adalah Kensho moments lagi untuk berkembang di tengah-tengah kesulitan. Lewat Estonia, gw diperkenalkan pada bagaimananya pentingnya kebebasan ber-internet, sehingga semua warganya punya akses yang sama. Bagaimana negara kecil di laut baltik ini berkembang begitu pesat di bidang teknologi informasi semenjak kemerdekaannya dari Russia di tahun 1991. Last but not least, sebagai bagian dari Uni Eropa, izin tinggal di Estonia membukakan jalan untuk mengenal salah satu pusat peradaban manusia dari di benua biru, Eropa. Gw punya kesempatan jalan-jalan tidak hanya ke negara tetangga seperti Latvia atau Finlandia, tapi juga ke negara-negara besar G20 seperti Jerman dan Perancis. Terima kasih Estonia! :)
What’s Next?
Saat ini gw masih berjuang untuk menyelesaikan master thesis kuliah gw sambil tetap mencari nafkah lewat pekerjaan di Estonia ini. Di luar kesibukan bekerja dan menulis thesis, gw berusaha menyempatkan diri untuk terlibat dalam kegiatan volunteering lagi, mengimplementasikan the art of giving back untuk Estonia. Belajar ilmu baru seperti blockchain dan NFT. Lalu belajar ilmu human transformation lewat Mindvalley sambil mempersiapkan diri untuk kegiatan in-person Mindvalley University di ibukota Estonia, Tallinn, pada bulan Juli 2022 mendatang. Dan semoga dalam waktu mendatang, gw akan merasakan Satori ‘aha’ moment untuk lebih mengenal diri dan apa yang gw mau lakukan untuk jangka panjang selanjutnya.
Terima kasih sudah membaca :)
Theme Music: Voyage — Chrono Cross