Tahun 2019 ini menjadi saat yang mendebarkan untuk memperjuangkan mimpi saya untuk kuliah di luar negeri. Perjuangan yang mungkin terlihat indah di luarnya, namun banyak tantangan dan penolakan yang sejujurnya saya rasakan. Tulisan ini saya buat sebagai bahan refleksi pribadi sebelum berangkat ke Eropa pada bulan akhir Agustus mendatang.
Tidak Lolos Seleksi Berbagai Macam Beasiswa
Semenjak pertengahan tahun 2018, saya sudah mulai gencar mencari beasiswa untuk kuliah Master. Dimulai dari Australia, saya sempat mengirimkan aplikasi beasiswa untuk program Australia Awards Scholarship (yang biasa disebut AAS) dan Endeavour Scholarship, meski keduanya belum membuahkan hasil. Saya sempat merencanakan untuk mendaftar LPDP, namun karena ada salah satu persyaratan yang tidak bisa saya penuhi, akhirnya saya batalkan. Saya juga mendaftar beasiswa di salah satu kampus baru di Russia bernama Innopolis University, namun kembali hanya dengan balasan “terima kasih sudah mendaftar”.
Ujian IELTS Academic di IDP Melbourne
Sambil menikmati 6 bulan terakhir Working Holiday di Melbourne, Australia, saya pun mempersiapkan waktu untuk belajar bahasa Inggris secara otodidak demi mendapatkan nilai IELTS minimal 6.5 sebagai persyaratan kuliah Master di Australia. Pikir saya waktu itu ingin mengambil kursus kilat persiapan IELTS di IDP Melbourne, namun setelah pertimbangan soal biaya yang cukup mahal dan waktu yang terbatas karena saya masih bekerja full-time, akhirnya saya batalkan niat tersebut.
Tidak menyerah dengan segala keterbatasan tersebut, saya akhirnya memilih belajar secara otodidak lewat buku latihan soal IELTS dan juga mengambil kursus online IELTS lewat website ieltsonline.com.au yang dikembangkan oleh Macquarie University. City of Melbourne Library dan State Library of Victoria menjadi dua tempat favorit saya untuk memfokuskan diri belajar saat itu. Di waktu libur saya bisa menghabiskan waktu pagi hingga sore hari untuk belajar di library, sementara di hari kerja saya mulai belajar dari sekitar jam 6 sore hingga jam tutup library sekitar jam 8 atau 9 malam.
Via website Eventbrite, saya menemukan jadwal IELTS Practice Test yang di adakan oleh IDP Melbourne. Meski hanya latihan, IDP Melbourne membuat suasana ujian percobaan ini seperti suasana ujian IELTS aslinya nanti. Mereka biasanya menyewa sebuah ruangan besar seperti di Hotel atau Convention Centre, dilengkapi dengan fasilitas audio untuk tes Listening. Merogoh kocek sekitar AUD24, metode ujian percobaan ini sangat membantu saya dalam membiasakan diri dalam suasana ujian, belajar time management yang baik dalam menjawab soal-soal ujian, dan tentunya membangun mental yang lebih siap dalam menghadapi ujian aslinya nanti
Segala jerih payah tersebut akhirnya membuahkan hasil ketika saya menerima hasil ujian IELTS kira-kira 2 minggu setelah hari tes. Cukup kecewa pada awalnya, karena nilai writing saya di bawah standar 6.5. Beruntung saya mendapatkan informasi soal remark nilai IELTS, dengan tujuan meningkatkan nilai writing tersebut. Infonya, dari 4 subjek tes hanya ada dua subjek yang paling memungkinkan untuk direvisi nilainya, yaitu writing dan speaking. Kenapa? karena kedua subjek tersebut dinilai secara subjektif tergantung pengoreksi nilainya. Kira-kira butuh waktu sekitar 2 minggu, akhirnya hasil re-mark IELTS saya keluar dan benar saja, nilai writing saya naik hingga 1 poin dari 5.5 menjadi 6.5. Alhasil, saya sungguh bersyukur dengan nilai IELTS ini. “Dengan nilai IELTS ini, jalan kuliah ke luar negeri semakin terbuka”, pikir saya saat itu.
Impian Kuliah di Melbourne
Kampus-kampus ternama di Melbourne seperti University of Melbourne, RMIT, Swinburne University of Technology, Monash University, Deakin University selalu menjadi incaran bagi para calon mahasiswa dari seluruh dunia. Berbekal rasa ingin tahu terhadap suasana kampus tersebut, saya pun menghadiri beberapa open day tersebut. Berbagai informasi saya dapat, hingga akhirnya saya memilih RMIT dan Swinburne sebagai kampus destinasi saya untuk kuliah di sini. Kedua kampus tersebut memiliki reputasi yang baik di bidang teknologi informasi dan lokasi yang tidak terlalu jauh dari pusat kota Melbourne.
RMIT memberikan saya letter of acceptance untuk jurusan Master of Data Science dengan biaya kuliah sekitar 30,000 AUD per tahun dan hanya diberikan beasiswa potongan uang kuliah sebesar 15%. Lalu Swinburne menawarkan jurusan Master of Information Technology dengan biaya sekitar 25,000 AUD per tahun dan beasiswa 25% potongan uang kuliah. Saya sadar bahwa Australia adalah salah satu negara dengan biaya kuliah sekaligus biaya hidup tertinggi di dunia. Tanpa beasiswa, mungkin hanya orang-orang dari keluarga menengah ke atas yang mampu kuliah di Universitas ternama Australia, dan sayangnya saya bukan termasuk di dalamnya. Pada akhirnya, saya memendam impian untuk kuliah di negeri kangguru ini dengan berbagai pertimbangan, khususnya untuk mencoba kembali melihat dunia lewat benua Eropa.
Eksplorasi Website MastersPortal.com
Lewat portal website ini, saya menemukan banyak sekali Universitas-Universitas di Eropa yang menawarkan biaya kuliah yang cukup murah, apalagi tentunya jika dibandingkan dengan Universitas di Australia. Negara-negara seperti Italia, Jerman, Perancis, Austria, Finland, Norwegia, Russia ternyata menawarkan berbagai jurusan kuliah menarik dengan biaya yang terjangkau hingga gratis. Alhasil, selama bulan Maret hingga April, saya menghabiskan sebagian besar waktu saya untuk mengumpulkan dokumen aplikasi kuliah dan beasiswa, menulis motivation letter, mempersiapkan essay, memperbaiki resume, dan tentunya melakukan submit aplikasi kuliah saya.
Berkenalan dengan Estonia
Beruntungnya juga saya sempat bertanya ke teman Indonesia yang sedang kuliah di Estonia, namanya Radita Liem. Mba Dita ini baru saja menyelesaikan kuliah Master of Computer Science di University of Tartu. Lewat pertanyaan sederhana dari Facebook Messenger, saya penasaran bagaimana dia bisa kuliah di Estonia, sebuah negara yang bahkan namanya pun belum pernah saya dengar sebelumnya. Lewat bantuannya, saya diperkenalkan soal situs DreamApply Estonia, sebuah portal universitas-universitas di Estonia dengan segala informasi detail tentang biaya kuliah, jurusan yang tersedia, dan cara pendaftarannya.
Dengan biaya aplikasi kuliah sekitar 50 EUR, saya bisa memilih dua jurusan yang saya inginkan. Pilihan saya jatuh pada jurusan Computer Science dan Software Engineering di University of Tartu, dua jurusan berbeda namun masih di bawah satu institusi yang sama yaitu Institute of Computer Science. Saya pilih dua jurusan ini, karena infonya kedua jurusan ini yang paling banyak menyediakan tuition-waiver untuk para calon mahasiswa nya, yang artinya kita tidak perlu membayar uang kuliah sebesar 6000 EUR per tahun alias kuliah dengan biaya gratis. Aplikasi saya submit kira-kira awal bulan Maret, saya masih harus menunggu pengumuman beasiswa hingga 2 bulan ke depan.
Mengirim Dokumen Legalisir Dokumen ke Jerman
Sambil menunggu pengumuman dari Estonia, tidak mau dibatasi oleh pilihan tersebut, saya membuka diri untuk mencoba aplikasi kuliah ke berbagai Universitas di Jerman. Kenapa Jerman? Kampus-kampus di Jerman terkenal dengan kualitas pengajarannya dan juga alumnusnya. Selain itu, kuliah di sini bisa dibilang gratis, terlepas dari semester fee sekitar 250 EUR yang harus dibayarkan per enam bulan. Tidak bisa bahasa Jerman? Untuk tingkat Master, banyak kampus Jerman yang menawarkan jurusan dengan bahasa pengantar bahasa Inggris, jadi bukan alasan untuk tidak mencoba.
Untuk international applicant, kebanyakan kampus di Jerman mendelegasikan proses pendaftaran kuliahnya lewat pihak ketiga bernama uni-assist. Artinya, kamu harus melakukan segala proses aplikasi perkuliahan lewat website ini, termasuk dalam hal pengiriman dokumen fisiknya. Sebagai pihak ketiga, uni-assist juga memberikan fee sebesar 75 EUR untuk aplikasi pertama, 30 EUR untuk aplikasi kedua dan seterusnya. Untuk pilihan pengiriman dokumen, kamu bisa menggunakan EMS dari Pos Indonesia dengan biaya sekitar 120 ribu Rupiah, atau menggunakan jasa DHL Express yang jauh lebih cepat namun juga dengan biaya yang lebih mahal. Saya sendiri memilih menggunakan Pos Indonesia, dan berdasarkan pengalaman saya mengirimkan tiga dokumen ke Jerman, semua sampai tujuan dengan selamat.
Pengumuman dari Estonia
Awal Mei 2019 menjadi saat pengumuman aplikasi kuliah saya di Estonia. Sempat putus asa pada awalnya, karena melihat pengumuman pertama saya, meski diterima di jurusan Master of Computer Science, saya tidak mendapatkan beasiswa tuition-waiver, yang artinya saya tetap harus membayar biaya kuliah sebesar 6000 EUR per tahun. Namun selang satu hari, pengumuman kedua dirilis, dan dengan hati berdebar-debar, saya mendapatkan informasi bahwa saya diterima di jurusan Master of Software Engineering dengan status tuition-waiver student. Puji dan syukur, inilah jalan yang ditunjukkan Tuhan bagi saya untuk menuju benua biru, Eropa.
Selang beberapa hari, pihak universitas juga memberikan informasi tambahan bahwa saya juga berhak untuk Dora Plus Scholarship yang artinya saya berhak mendapatkan stipend sebesar 350 EUR per bulan selama 10 bulan di semester pertama. Dengan segala pertimbangan, akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada Estonia, dan dengan lapang dada menolak dengan baik-baik segala letter of acceptance yang saya terima dari beberapa universitas di Austria, Italia, Perancis, dan juga Jerman.
What’s Next?
Saya baru saja mendapatkan visa Estonia lewat kedutaan besar Estonia di Tokyo. Tiket pesawat menuju Tartu, Estonia juga sudah dipesan. Saat ini, saya berusaha menggunakan waktu saya untuk mempersiapkan diri kembali ke ranah studi. Belajar materi-materi perkuliahan yang sudah lama saya tinggalkan. Dan tentunya juga membagi waktu untuk keluarga dan teman-teman baik di Indonesia yang akan kembali saya tinggalkan untuk beberapa waktu. Sebuah tulisan ungkapan rasa syukur saya, bahwa sebuah ungkapan “When there is a will there is a way” bisa dibuktikan lewat impian dan tentunya doa sepenuh hati.