5 Hal Yang Mengubah Hidup Saya di Tahun 2019

Enlik Lee
5 min readDec 30, 2019

--

Akhir tahun menjadi saat yang baik untuk merefleksikan diri kita sendiri, untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi di tahun mendatang. Kesibukan terkadang membuat kita lupa untuk berhenti sejenak, meresapi apa yang sudah kita capai, dan apa yang belum berhasil kita gapai. Berikut ini 5 momen yang saya lakukan di tahun 2019:

  1. Belajar Data Science di Algoritma

Inilah investasi terbesar yang saya lakukan di awal tahun 2019 ini. Dengan biaya yang tidak sedikit, saya meyakinkan diri bahwa ilmu data ini akan memberikan impact yang positif untuk masa depan yang lebih baik. Selama kurang lebih tiga bulan mengikuti kursus, saya belajar bagaimana proses pengolahan data, analisis, visualisasi, hingga ke penggunaan model machine learning dan deep learning untuk berbagai kebutuhan.

Algoritma Data Science Academy via this link

2. Membatalkan Niat Pergi Ke Kanada

Sebelum menyelesaikan kursus di Algoritma, saya dihadapkan pada dua pilihan, memulai karir baru saya dalam bidang Data Science di Jakarta atau melanjutkan studi S2 yang sudah saya impikan semenjak masih working holiday di Australia. Pada kenyataannya, proses pencarian kerja di bidang yang terbilang baru bagi saya, tidaklah semudah yang saya bayangkan. Saya yang dilanda kebimbangan karena kehilangan arah karir dan kondisi finansial yang semakin kurang baik, sempat berpikir untuk mencoba peruntungan ke Kanada dengan kuliah ‘murah’ demi bisa mendapatkan izin bekerja dan peluang PR di sana. Lewat percakapan singkat dengan kakak sepupu, saya bersyukur kembali diingatkan bahwa mengambil keputusan di saat bimbang tidaklah bijak. Pilihan ke Kanada tidak jadi saya ambil karena berbagai pertimbangan seperti kuliah yang tidak sesuai dengan bidang yang saya minati, biaya kuliah yang cukup tinggi, ketidakpastian masa depan dari program yang akan saya ambil, dan sebagainya. Saya pun move on dari Kanada, lalu melihat peluang di Eropa.

3. Memperjuangan Kuliah Master di Eropa

Saat itu saya masih berharap untuk mendapatkan beasiswa ternama seperti LPDP Indonesia, Endeavour Australia, hingga Chevening UK. Tapi memang beasiswa tersebut belum membukakan jalan. Saya pun masih mempertimbangkan beasiswa Master berupa potongan uang kuliah 25% dari salah satu Universitas ternama di Melbourne, Australia, namun kembali terkendala di masalah finansial karena biayanya masih cukup besar meski ada potongan.

Hingga suatu hari di akhir bulan Februari, saya menemukan salah satu profil teman Facebook yang sedang kuliah di negara yang tidak pernah saya dengar sebelumnya, Estonia. Berbekal rasa penasaran akan negara tersebut, saya pun memberanikan diri mengirim pesan singkat kepadanya untuk bertanya seputar kuliah di negara tersebut, meskipun kami tidak kenal cukup dekat. Karena berani mengetuk untuk informasi, saya merasa sebuah pintu telah dibukakan. Persyaratan yang sudah saya penuhi, banyaknya beasiswa yang tersedia, besarnya peluang di bidang teknologi informasi, hingga biaya hidup yang relatif murah, membuat saya yakin Estonia adalah salah satu pilihan terbaik untuk kuliah Master d Eropa. Saya menyelesaikan submisi aplikasi mahasiswa kurang dari satu minggu sebelum deadline di sekitar pertengahan bulan Maret.

Belajar dari pengalaman sebelumnya menunggu pengumuman beasiswa, saya tidak mau hanya duduk diam menunggu pengumuman tanpa mencoba mencari peluang yang lain. Lewat website MastersPortal.com, saya melakukan riset kecil tentang kuliah di Eropa pada jurusan yang saya minati. Dan untuk bidang teknologi informasi, saya menemukan bahwa Jerman adalah salah satu yang terbaik. Hampir semua universitas di Jerman tidak membebankan uang perkuliahan. Saya pun belajar mengirimkan aplikasi kuliah ke Jerman, dimana beberapa di antaranya membutuhkan pengiriman dokumen via pos internasional. Saya juga mengirimkan aplikasi kuliah ke beberapa negara Eropa lainnya seperti Italia, Perancis, Austria, Polandia, hingga Russia.

Pada akhirnya, saya memilih Estonia sebagai negara tujuan dengan berbagai pertimbangan seperti biaya hidup yang lebih murah, beasiswa yang saya dapatkan, peluang bekerja di bidang teknologi informasi yang cukup besar.

via Findmasters.com

4. Volunteer di Hanoi, Vietnam

Bosan dengan rutinitas sehari-hari, saya menyempatkan diri untuk mengikuti kegiatan relawan di Vietnam bersama komunitas Youth for Education. Di musim panas, cuaca kota Hanoi begitu panas hingga 40 derajat Celcius. Pada satu minggu pertama saya berada di sini, saya menemani beberapa anak-anak untuk kegiatan Summer Camp mereka. Lalu di minggu kedua kami memulai aktivitas Summer Camp yang lebih besar dengan jumlah peserta kira-kira 40 orang anak-anak usia 5–14 tahun.

Di sini, saya belajar cukup banyak tentang budaya Vietnam, khususnya ketika live in dengan mereka di asrama sekolah. Saya baru tahu bahwa mereka punya kebiasaan tidur siang setelah selesai makan siang, dan cukup gosok gigi di pagi hari tanpa perlu mandi. Surprisingly, kemampuan bahasa Inggris anak-anak di sini sangatlah baik, terlihat dari bagaimana mereka menulis buku diary kegiatan mereka sehari-hari dalam bahasa Inggris.

Dalam kegiatan volunteer ini saya berperan sebagai pembimbing sekaligus pengajar anak-anak, menemani mereka belajar bahasa Inggris dan juga ilmu pasti seperti Matematika dan Teknologi. Di hari terakhir Summer Camp, kami membantu anak-anak untuk mempersiapkan fashion show dengan tema kebudayaan sebuah negara. Ada empat negara yang dipilih saat itu, yaitu Vietnam, Indonesia, Jepang, dan Korea Selatan. Menjadi pengalaman yang tidak terlupakan ketika melihat para anak-anak menampilkan performance mereka masing-masing dengan lepas dan tanpa rasa malu.

Summer Camp di TH International School, Hanoi, Vietnam

5. Ikut Bergabung dengan AIESEC Estonia

Setibanya saya di Estonia, saya mulai mencari kegiatan di luar universitas untuk membangun soft skill saya. Karena rekomendasi dari salah seorang teman volunteer di Indonesia, saya pun memilih AIESEC. Sebelum memastikan untuk bergabung, saya mencari informasi lebih jauh lewat Info Evening yang mereka adakan. Setelah berbagai pertimbangan, saya pun memutuskan untuk bergabung. Proses interview dilakukan layaknya melamar pekerjaan, saya ditanya berbagai hal, khususnya soal pengalaman saya dalam volunteering dan juga leadership.

Tak lama setelah saya melakukan onboarding dengan AIESEC, ada sebuah acara besar mereka yang dinamakan Starter Conference. Acara ini bertujuan untuk merekatkan hubungan antar AIESEC dimana Estonia sendiri punya dua AIESEC, satu di Tartu dan satu di Tallinn. Acara berlangsung di Tartu, Estonia, dan beberapa orang penting AIESEC hadir di sini untuk berbagi ilmu mereka. Tidak hanya belajar, kami juga bermain games yang bertujuan untuk melatih kemampuan team work, dan juga mengenal diri kami masing-masing. Acara ini menjadi momen pembuka bagi saya untuk mengenal visi dan misi AIESEC dan pengaruh yang ingin mereka berikan untuk orang muda di seluruh dunia.

Waktu pun berlalu, saya bergabung sebagai anggota tim dari Outgoing Exchange (disingkat OGX). Tugas kami di sini adalah untuk mengenalkan program Global Volunteer yang tersedia dari AIESEC kepada semua orang muda yang ada di Tartu. Kami berusaha mengirimkan mereka ke luar Estonia untuk mendapatkan pengalaman berharga menjadi relawan di luar negeri. Di satu waktu, saya juga berkesempatan bersama satu rekan lainnya untuk menjadi MC dari Info Evening yang diadakan di basecamp AIESEC. Di sini, saya belajar banyak hal khususnya soal menjadi public speaker, bagaimana berbicara di depan banyak orang, satu hal yang paling saya takuti. Kurang lebih tiga bulan bersama AIESEC, menguras waktu dan tenaga saya di tengah-tengah kesibukan kuliah. Tapi saya bersyukur bahwa komunitas ini membuat saya bertumbuh dan level up menjadi pribadi yang lebih baik.

Bersama tim OGX AIESEC in Tartu

--

--

Enlik Lee
Enlik Lee

Written by Enlik Lee

Love traveling, spirituality, and mindfulness activities. I write in English and Indonesian. Homepage: https://enlik.tech/

No responses yet